Ruang Lingkup
dan Perkembangan Teori Hubungan Internasional
Menurut
catatan Steve Smith dalam buku The Study of
International Relations, The State of The Art[1]
bahwa awal perkembangan ilmu hubungan internasional menjadi satu disiplin ilmu
tersendiri baru dimulai segera setelah Perang Dunia I (PD I). Sebelum PD I,
terutama merujuk perkembangan di Eropa umumnya, khususnya di Inggris, kajian
hubungan internasional dipelajari secara terpisah diberbagai cabang ilmu
seperti dalam bidang hukum, sejarah, dan falsafah. Bidang lain yang turut
mengkaji ilmu hubungan internasional ketika itu adalah bidang ekonomi terutama
yang berkaitan dengan perdagangan internasional. Pendekatan-pendekatan dari
bebagai bidang ilmu ini tidak cukup memuaskan untuk memahami intisari hubungan
internasional yang sebenarnya.
Ada dua kenyataan yang dihadapi dalam
memahami hubungan internasional. Pertama, bahwa masyarakat internasional adalah
sangat berbeda dengan masyarakat nasional. Masyarakat internasional terdiri
dari aktor-aktor yang memiliki kedaulatan sendiri atau berada dibawah
kedaulatan yang berbeda, karena itu tidak tunduk pada satu kekuatan politik dan
hukum yang terpusat. Untuk memahami interaksi diantara mereka memerlukan
pemahaman yang menyeluruh baik dari aspek politik maupun sejarahnya. Kedua,
ilmu hubungan internasional memerlukan pendekatan dan alat (metoda) tersendiri
yang berbeda dengan pendekatan atau cara pandang kajian politik umumnya. Kedua
kenyataan ini berhadapan dengan kenyataan lainnya yaitu peperangan antar
bangsa-bangsa Eropa disatu sisi dan keinginan orang untuk hidup damai telah
mendorong para ilmuwan ketika itu untuk mengajukan pemikiran teoritik di bidang
hubungan internasional.
Pemikiran yang diajukan adalah hubungan
internasional tidak boleh lagi dipandang sebagai disiplin ilmu yang terpisah,
melainkan disiplin yang memiliki cara pandang atau pendekatan khusus yang mampu
menterjemahkan dan memahami dimensi empiriknya secara utuh. Tatanan politik
internasional pada akhir abad 19 itu juga cukup berpengaruh terhadap
perkembangan kajian hubungan internasional. Inggris sebagai sebagai kekuatan
dominan ketika itu juga mendominasi perkembangan pemikiran dalam bidang kajian
ini. Pemikiran yang muncul juga tidak terlepas dari cerminan kepentingan
Inggris dalam menghadapi tatanan dunia yang multi polar.
Pemikiran yang diajukan berlandaskan
pada hujjah (alasan) bahwa peperangan bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh
setiap orang, dan merupakan dosa dan musibah yang terjadi akibat ketidak
sengajaan. Peperangan antar bangsa terjadi adalah akibat prasangka yang muncul
dalam menafsirkan keamanan yang mendorong orang mengembangkan senjata sehingga
pada akhirnya manusia terjebak dalam perang. Hedley Bull salah seorang pemikir
ketika itu berpendapat bahwa sistem hubungan internasional yang telah
menghasilkan PD I sebenarnya dapat diubah tatanannya secara fundamental kepada
keadaan yang lebih damai, dibawah pengaruh kebangkitan demokrasi, pertumbuhan
pemikiran global, pembentukan Liga Bangsa Bangsa, karya-karya yang baik tentang
perdamaian yang disebarkan melalui pengajaran atau pendidikan. Pemikiran ini
dikenal dengan paradigma idealisme.
Berdasarkan keadaan yang dipaparkan di
atas tercermin sebuah kenyataan bahwa ilmu hubungan internasional lahir sebagai
sebuah disiplin ilmu sangat berbeda dengan ilmu sosial lainnya. Ilmu hubungan
internasional pada saat lahirnya sangat preskriptif (memberi pedoman),
normatif, dan didasarkan pada karya konseptual dari aktifitas ilmuwan yang
sangat dekat keterkaitannya dengan pengambilan kebijakan. Ilmu hubungan
internasional lahir dan berkembang sebagai bentuk tanggapan langsung terhadap
peristiwa-peristiwa nyata yang terjadi di dunia dan mendefinisikan
tujuan-tujuannya untuk mencegah pengulangan peristiwa-peristiwa tersebut.
Pemikiran idealis ini berkembang sejak
akhir PD I hingga PD II (1920-an hingga 1930-an). Pemikiran idealis ini tampil
menawarkan kepada para pengambil kebijakan di berbagai negara sebuah tatacara
untuk menghindari perang. Namun kenyataannya selama dekade 1920-an dan 1930-an
ketegangan akibat pacuan senjata di Eropa terus meningkat. Aliasi militer
Triple Etente (Inggris, Perancis, Rusia) dan Triple Alliance (Jerman, Italia,
Austria) terbentuk dan saling berhadapan. LBB tumbuh menjadi lembaga yang
digunakan sebagai ajang membangun kekuatan bagi negara-negara besar Eropa
sehingga lembaga yang dibentuk atas dasar cita-cita perdamaian dunia justru
berubah menjadi wilayah konflik. Munculnya nazi Jerman sebagai sebuah kekuatan
militer besar adalah sebuah kenyataan yang terencana untuk menjadikan negara
fasis itu sebagai kekuatan dominan di Eropa. Menguatnya upaya Inggris membangun
aliansi untuk mencegah ambisi Jerman adalah kenyataan lain yang juga terencana.
Persaingan kekuatan ini kemudian menampilkan kenyataan baru di Eropa, yaitu
Perang Dunia II.
Pertanyaan mendasar adalah ketika
diyakini manusia berkeinginan untuk damai mengapa mereka merencanakan perang?
Pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh pemikiran idealis. Sebaliknya
masyarakat dunia dikejutkan dengan kenyataan perang besar yang kesekian kalinya
dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa. Masalah utama yang melekat dalam paradigma
idealis adalah pemikiran yang ditawarkan jauh dari kenyataan yang dilakukan
oleh para pemimpin di negara-negara Eropa. Kenyataan di Eropa menunjukkan
keinginan yang kuat dari para pemimpinnya untuk melakukan perang dalam upaya
meraih dominasi kekuatan baik dibidang ekonomi maupun militer. Ambisi kekuasaan
yang sangat menonjol ini kemudian membimbing bangsa-bangsa Eropa terseret
kedalam kekacauan besar yang sama sekali menghancurkan keamanan dan perdamaian.
E.H. Carr dalam bukunya The Twenty Years
Crisis[2] mengkritik pemikiran
idealis bahwa mekanisme yang ditawarkan idealis tidak mampu mencegah perang,
dan mediasi untuk meredakan konflik tidak berjalan. Pemikiran idealis dianggap
sebagai mimpi kosong (utopia).
Kegagalan paradigma idealis dalam
menjelaskan kenyataan hubungan internasional pada dekade 1930-an mendapat
tanggapan dengan lahirnya paradigma alternatif yang dikenal sebagai paradigma
realisme. Paradigma realisme ini muncul pada era pasca PD II (1940-an) dan
secara umum adalah paradigma yang paling dominan, paling tidak dominasinya
berlangsung hingga dekade 1980-an. Kemunculan paradigma realisme ini juga tidak
terlepas dari tampilnya Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan pada era dan
pasca PD II. Bahkan ada kecenderungan pemerintah Amerika mendorong diperkuatnya
kajian hubungan internasional untuk memetakan tindakan negara adi daya ini
kedepan.
Pemikiran awal yang ditawarkan oleh
paradigma realisme ini ada tiga prinsip. pertama adalah negara merupakan aktor
terpenting dalam hubungan internasional. Kedua, terdapat perbedaan yang tajam
antara politik dalam negeri dan politik internasional. Ketiga, titik tekan
perhatian kajian hubungan internasional adalah tentang kekuatan dan perdamaian.
Karya yang dinilai fundamental dalam membangun paradigma realis ini adalah Politics Among Nations oleh Morgenthau
dan The Twenty Years Crisis oleh E.H.
Carr.
Realisme adalah tradisi teoritik yang
mendominasi studi hubungan internasional selama masa Perang Dingin. Pendekatan
teoritik ini menggambarkan hubungan internasional sebagai suatu pergulatan
memperebutkan kekuasaan diantara negara-negara yang masing-masing mengejar
kepentingan nasionalnya sendiri dan umumnya pesimistik mengenai prospek upaya
penghapusan konflik dan perang. Realisme mendominasi masa Perang Dingin karena
gagasan ini bisa memberi penjelasan yang sederhana tetapi cukup meyakinkan
mengenai perang, aliansi, imperialisme, hambatan terhadap kerjasama, dan
berbagai fenomena internasional, dan karena penekanannya pada kompetisi waktu
itu sesuai dengan sifat pokok persaingan AS-Uni Soviet (US).
Realisme memang bukan teori tunggal dan
pemikiran realis selama masa Perang Dingin telah mengalami perubahan. Realis
“klasik” seperti Hans Morgenthau dan Reihold Niebuhr yakin bahwa, seperti
halnya makhluk manusia, setiap negara memiliki keinginan naluriah untuk
mendominasi negara-negara lain, sehingga membuat mereka berperang. “According to classical realism, because the desire for more power is
rooted in the flawed nature of humanity, states are continuously engaged in a
struggle to increase their capabilities. The absence of the international
equivalent of a state’s government is a permissive condition that gives human
appetites free reign. In short, classical realism explains conflictual behavior
by human failing.”[3] Morgenthau juga menekankan peran penting dari
sistem perimbangan kekuatan multi-polar klasik[4]
dan memandang sistem bipolar yang memungkinkan persaingan sengit antara AS dan
US sebagai sistem yang sangat berbahaya.
Sebaliknya, teori “neo-realis” yang
diajukan oleh Kenneth Waltz mengabaikan peran sifat manusia dan memusatkan
perhatian pada akibat dari sistem internasional. Menurut Waltz, sistem
internasional terdiri dari sejumlah negara besar, yang masing-masing berusaha
untuk bertahan hidup. Karena sistem itu anarkis (yaitu tidak ada wewenang
terpusat yang bisa melindungi negara dari serbuan negara lain), maka
masing-masing negara harus mempertahankan hidupnya dengan usaha sendiri. Waltz
berpendapat bahwa kondisi seperti ini akan mendorong negara-negara yang lebih
lemah saling-bersekutu untuk mengimbangi (balance)
dan melawan negara-negara yang lebih kuat, bukan malah bergabung (bandwagon) dengan negara-negara kuat
itu. Bertolak-belakang dengan pendapat Morgenthau, Waltz menyatakan bahwa
bipolaritas lebih stabil daripada multipolaritas.
[1] Dyer Hugh
C. & Mangasarian, Leon, (Editors), 1989, The Study Of International Relations, The State of the Art, St. Martin’s Press in association
with New York Millenium: Journal of International Studies,
[2]
Misalnya, pengembangan sistem persenjataan nuklir dengan kemampuan membalas (retaliatory) yang meyakinkan, bukan
menekankan kemampuan menyerbu.
[3]
Martin Griffiths, 2007, “International
Relations Theory for the Twenty-First Century, An Introduction”, New York :
Routledge, hal. 12
[4]
Yaitu sistem yang berlaku di Eropa sesudah Perang Napoleon (pertangahan abad
19) sampai sebelum Perang Dunia I (awal abad 20).