HAKIKAT, INSTRUMENTASI, DAN PRAKSIS
DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKAN PANCASILA DAN UUD 1945
Oleh : Eben Ezher Pakpahan, Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Riau
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Prof. Mr. Muhamad Yamin mengemukakan bahwa
demokrasi merupakan suatu dasar dalam pembentukan pemerintahan dan yang ada
didalamnya (masyarakat) dalam kekuasaan mengatur dan memerintah dikendalikan
secara sah oleh seluruh anggota masyarakat.
Kita mengenal bermacam-macam istilah demokrasi. Ada
yang dinamakan demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, Demokrasi
Terpimpin, Demokrasi Pancasila, demokrasi rakyat, Demokrasi Soviet, demokrasi
nasional, dan sebagainya. Semua konsep ini memakai istilah demokrasi yang
menurut asal kata ‘rakyat berkuasa’ atau government
by the people (kata Yunani demos
berarti rakyat, kratos/kratein
berarti kekuasaan/berkuasa).[1]
Setiap warga negara mendambakan pemerintahan
demokratis yang menjamin tegaknya kedaulatan rakyat. Hasrat ini dilandasi
pemikiran bahwa adanya peluang bagi tumbuhnya prinsip menghargai keberadaan
individu untuk berpartisipasi dalam kehidupan bernegara secara maksimal.
Setiap negara mempunyai ciri khas dalam
pelaksanaan kedaulatan rakyat atau
demokrasinya. Hal ini ditentukan oleh sejarah negara yang bersangkutan,
kebudayaan, pandangan hidup, serta tujuan yang ingin dicapainya. Dengan
demikian pada setiap negara terdapat corak khas yang tercermin pada pola sikap,
keyakinan dan perasaan tertentu yang mendasari, mengarahkan, dan memberi arti
pada tingkah laku dan proses berdemokrasi dalam suatu sistem politik.[2]
Begitu pula dengan Indonesia, Indonesia memiliki
landasan atau acuan tersendiri dalam proses demokrasi nya, yaitu Pancasila dan
UUD 1945. Penjabaran demokrasi dalam ketatanegaraan Indonesia dapat ditemukan
dalam konsep demokrasi sebagaimana terdapat dalam UUD 1945 sebagai “staatsyfundamentalnorm” yaitu “...Suatu
susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat...” (ayat 2),
selanjutnya didalam Romawi III dijelaskan “Kedaulatan Rakyat...” [3]
Pancasila bukan hanya suatu daftar nilai
tradisional. Melainkan Pancasila memuat lima unsur etika pasca-tradisional sedunia yang paling fundamental:
kebebasan beragama; hormat tanpa kompromi terhadap hak-hak asasi manusia;
kebangsaan yang mempersatukan dalam sinergi pembangunan; semangat kerakyatan
yang tak lain adalah demokrasi; serta keadilan sosial. Hal inilah yang menjadi
corak khas dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia, yaitu Demokrasi Pancasila.[4]
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
konsep dan urgensi demokrasi yang bersumber dari Pancasila?
2. Mengapa diperlukan demokrasi yang bersumber
dari Pancasila?
3. Bagaimana
sumber historis, sosiologis, dan politik tentang demokrasi?
4. Bagaimana
membangun argumen tentang dinamika dan tantangan demokrasi yang bersumber dari
Pacasila?
5. Bagaimana
deskripsi esensi dan urgensi demokrasi Pancasila?
6. Bagaimana
studi kasus mengenai Demokrasi Pancasila di Indonesia?
C.
Tujuan
1. Pembaca
memahami konsep dan urgensi demokrasi yang bersumber dari Pancasila
2. Pembaca
memahami perlunya demokrasi yang bersumber dari Pancasila
3. Pembaca
memahami sumber historis, sosiologis, dan politik tentang demokrasi
4. Pembaca
memahami argumen tentang dinamika dan tantangan demokrasi yang bersumber dari
Pacasila
5. Pembaca
memahami deskripsi esensi dan urgensi Demokrasi Pancasila
6. Pembaca
mengetahui bagaimana studi kasus Demokrasi Pancasila di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
dan Urgensi Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila
1. Pengertian
Demokrasi
Secara
etimologis demokrasi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu “demos” dan ”kratein”. Dalam “The Advanced
Learne’s Dictionary of Current English” (Hornby dkk, 1998) dikemukakan
bahwa kata demokrasi merujuk pada konsep kehidupan negara atau masyarakat dimana
warga negara dewasa turut berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya
yang dipilih.
Karena
“people” yang menjadi pusatnya,
demokrasi oleh Pabottinggi (2002) disikapi sebagai pemerintahan yang memiliki
otosentrisitas yakni rakyatlah (people)
yang harus menjadi kriteria dasar demokrasi.
Sementara
itu CICED (1999) mengadopsi konsep demokrasi sebagai berikut :
“Democracy which is conceptually
perceived a frame of thought of having the public governance from the people,
by the people, has been universally accepted as paramount ideal, norm, social
system, as well as individual knowledge, attitudes, and behavior needed to be
contextually substantiated, cherished, and developed”.
Apa
yang dikemukakan oleh CICED (1999) tersebut melihat demokrasi sebagai konsep
yang bersifat multidimensional, yakni secara filosofis demokrasi sebagai ide,
norma, dan prinsip; secara sosiologis sebagai system social; dan secara
psikologis sebagai wawasan, sikap, dan perilaku individu dalam hidup
bermasyarakat.
Sebagai
suatu sistem sosial kenegaraan, USIS (1995) mengintisarikan demokrasi sebagai
sistem memliki sebelas pilar atau soko guru, yakni “Kedaulatan Rakyat,
Pemerintahan Berdasarkan Persetujuan dari yang Diperintah, Kekuasaan Mayoritas,
Hak-hak Minoritas, Jaminan Hak-hak Asasi Manusia, Pemilihan yang Bebas dan
Jujur, Persamaan di depan Hukum, Proses Hukum yang Wajar, Pembatasan
Pemerintahan secara Konstitusional, Pluralisme Sosial, Ekonomi dan Politik, dan
Nilai-nilai Toleransi, Pragmatisme, Kerja Sama dan Mufakat.”
Di
lain pihak Sanusi (2006) mengidentifikasikan adanya seupuluh pilar demokrasi
konstitusional menurut UUD 1945, yakin: “Demokrasi yang Ber-Ketuhanan Yang Maha
Esa, Demokrasi dengan Kecerdasan, Demokrasi yang Berkedaulatan Rakyat,
Demokrasi dengan “Rule of Law”,
Demokrasi dengan Pembagian Kekuasaan Negara, Demokrasi dengan Hak Asasi
Manusia, Demokrasi dengan Pengadilan yang Merdeka, Demokrasi dengan Otonomi
Daerah, Demokrasi dengan Kemakmuran, dan Demokrasi yang Berkeadilan Sosial.”
2. Tiga
Tradisi Pemikiran Politik Demokrasi
Secara
konseptual, seperti yang dikemukakan oleh Carlos Alberto Torres (1998)
demokrasi dapat dilihat dari tiga tradisi pemikiran politik, yakni “classical Aristotelian theory, medieval
theory, contemporary doctrine”. Dalam tradisi pemikirian Aristotelian
demokrasi merupakan salah satu bentuk pemerintahan, yakni pemerintahan oleh
seluruh warga negaranya yang memenuhi syarat kewarganegaraan. Sementara itu
dalam tradisi “medieval theory” yang
pada dasarnya menerapkan “Roman law”
dan konsep “popular souvereignity”
menempatkan suatu landasan pelaksanaan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat.
Sedangkan dalam “contemporary doctrine of
democracy”, konsep “republican”
dipandang sebagai bentuk pemerintahan rakyat yang murni.
Lebih
lanjut, Torres (1998) memandang demokrasi dapat ditinjau dari dua aspek yakni, “formal democracy” dan “substantive democracy”. Formal democracy menunjuk pada demokrasi
dalam arti pemerintahan. Substantive
democracy menunjuk pada bagaimana proses demokrasi itu dilakukan. Proses
itu dapat diindentifikasi dalam empat bentuk demokrasi. Pertama, konsep “protective democracy” yang menunjuk
pada perumusan Jeremy Bentham dan James Mill ditandai oleh “… the hegemony of market economy”, atau kekuasaan ekonomi pasar.
Kedua, “developmental democracy” yang
ditandai oleh konsepsi “… the model of
man as possessive individualist” atau model manusia sebagai individu yang
posesif. Ketiga, “equilibrium democracy”
atau “pluralist democracy” yang
dikembangkan oleh Joseph Schumpeter yang berpandangan perlunya penyeimbangan
nilai partisipasi dan pentingnya apatisme. Keempat, “participatory democracy” yang diteorikan oleh C.B Machperson yang
dibangun dari pemikiran paradoks dari JJ.
Rousseau yang menyatakan bahwa kita tidak dapat mencapai partisipasi yang
demokratis tanpa perubahan lebih dulu dalam ketakseimbangan sosial dan
kesadaran sosial. Seperti dikutip dari pandangan Mansbridge dalam “Participation
and Democratic Theory” (Torres,1998) dikatakan bahwa fungsi utama dati
partisipasi dalam pandangan teori demokrasi partisipatif adalah bersifat
edukatif dalam arti yang sangat luas. Hal itu dinilai sngat penting karena
seperti diyakini oleh Pateman dalam Torres (1998) bahwa pengalaman dalam
partisipasi demokrasi akan mampu
mengembangkan dan memantapkan kepribadian yang demokratis. Oleh karena itu,
peranan Negara demokratis harus dilihat dari dua sisi (Torres, 1998;149) yakni
demokrasi sebagai “method and content”.
3. Pemikiran
Tentang Demokrasi Indonesia
Miriam
Budiardjo menyebutkan di dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik (2008), bahwa
demokrasi yang dianut Indonesia adalah yang berdasarkan Pancasila yang masih
terus berkembang dan sifat dan ciri-cirinya terdapat berbagai tafsiran dan
pandangan.
Menurut
Hatta ada tiga sumber pokok demokrasi yang mengakar di Indonesia. Pertama,
sosialisme Barat yang membela prinsip-prinsip kemanusiaan yang sekaligus
dipandang sebagai tujuan demokrasi. Kedua, ajaran Islam memerintahkan kebenaran
dan keadilan Tuhan dalam masyarakat. Ketiga, pola hidup dalam bentuk
kolektivisme sebagaimana terdapat di desa-desa wilayah Indonesia.[5]
4. Pentingnya
Demokrasi sebagai Sistem Politik Kenegaraan Modern
Demokrasi
di mata pemikir Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles bukanlah bentuk
pemerintahan yang ideal. Demokrasi kuno itu selanjutnya tenggelam oleh
kemunculan pemerintahan model Kekaisaran Romawi dan tumbuhnya negara-negara
kerajaan di Eropa sampai abad ke-17.
Namun
demikian pada akhir abad ke-17 lahirlah demokrasi “modern” yang disemai oleh para pemikir Barat seperti Thomas
Hobbes, Montesquieu, dan JJ. Rousseau, bersamaan dengan munculnya konsep Negara-bangsa
di Eropa.
Perkembangan
demokrasi semakin pesat dan diterima semua bangsa terlebih sesudah Perang Dunia
II. Dengan demikiran, sampai saat ini demokrasi diyakini dan diterima sebagai
sistem politik yang baik guna mencapai kesejahteraan bangsa. Hampir semua negara
modern menginginkan dirinya dicap sebagai negara demokrasi. Sebaliknya akan
menghindar dari julukan sebagai Negara yang “undemocracy”.
B.
Alasan
Diperlukan Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila
Hingga saat ini kita masih menyaksikan sejumlah
persoalan tentang kelemahan praktik demokrasi di Negara kita. Beberapa masalah
tersebut yang sempat muncul diberbagai media jejaring sosial adalah:
1. Buruknya
kinerja lembaga perwakilan dan partai politik
2. Krisis
partisipasi politik rakyat
3. Munculnya
penguasa di dalam demokrasi
4. Demokrasi
saat ini membuang kedaulatan rakyat.
Terjadinya krisis partisipasi rakyat
disebabkan karena tidak adanya peluang untuk berpartisipasi atau karena
terbatasnya kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Secara lebih spesifik
penyebab rendahnya partisipasi politik itu adalah:
a. Pendidikan
yang rendah sehingga menyebabkan rakyat kurang aktif dalam melaksanakan
partisipasi politik
b. Tingkat
ekonomi rakyat yang rendah
c. Partisipasi
politik rakyat kurang mendapat tempat oleh pemerintah.
Munculnya penguasa didalam demokrasi
ditandai oleh menjamurnya “dinasti politik” yang menguasai segala segi
kehidupan masyarakat: pemerintahan, lembaga perwakilan, bisnis, peradilan, dan
sebagainya oleh satu keluarga atau kroni. Adapun perihal demokrasi membuang
kedaulatam rakyat terjadi akibat adanya kenyataan yang memperihatinkan bahwa
setelah tumbangnya struktur kekuasaan “otokrasi” ternyata bukan demokrasi yang
kita peroleh melainkan oligarki dimana kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil
elit, sementara sebagian rakyat (demos) tetap jauh dari sumber-sumber kekuasaan
(wewenang, uang, hukum, informasi, pendidikan, dan sebagainya).
Atas dasar kenyataan demikian tentu
muncul sejumlah pertanyaan dibenak kita. Misalnya :
1. Mengapa
kekuasaan politik formal dikuasai oleh sekelompok orang partai yang melalui
pemilu berhak “menguras” suara rakyat untuk memperoleh kursi di parlemen?
2. Mengapa
dapat terjadi suatu kondisi dimana melalui parlemen kelompok elit dapat
mengatas namakan suara rakyat untuk melaksanakan agenda politik mereka sendiri
yang sering kali berbeda dengan kepentingan nyata masyarakat?
3. Mengapa
pihak-pihak yang memiliki kekuasaan kharismatik yang berakar dari tradisi,
maupun agama yang terdapat pada beberapa orang yang mampu menggerakkan loyalitas
dan emosi rakyat yang bila perlu menjadi tumbal untuk tujuan yang bagi mereka
sendiri tidak jelas masih hidup pada era demokrasi dewasa ini?
4. Mengapa
sekelompok elit daerah dapat memiliki wewenang formal maupun informal yang
digunakan untuk mengatasnamakan aspirasi daerah demi kepentingan mereka
sendiri.
C.
Sumber
Historis, Sosiologis, dan Politik Tentang Demokrasi
1. Sumber
Nilai yang Berasal dari Demokrasi Desa
Mengenai
adanya anasir demokrasi dalam tradisi desa kita akan meminjam dua macam
analisis berikut:
1.1.Paham
kedaulatan rakyat sebenarnya sudah tumbuh sejak lama di Nusantara. Di alam
Minangkabau misalnya, Raja sejati di dalam kultur Minangkabau ada pada alur
(logika) dan patut (keadilan). Alur dan patutlah yang menjadi pemutus terakhir
sehingga keputusan seorang Raja akan ditolak apabila bertentangan dengan akal
sehat dan prinsip-prinsip keadilan (Malaka,2005).
1.2.Tradisi
demokrasi asli Nusantara tetap bertahan sekalipun dibawah kekuaaan feodalisme
raja-raja Nusantara karena di banyak tempat di Nusantara, tanah sebagai faktor
produksi yang penting tidaklah dikuasai oleh raja melainkan dimiliki bersama
oleh masyarakat desa.
2. Sumber
Nilai yang Berasal dari Islam
Inti
dari keyakinan Islam adalah pengakuan pada Ketuhanan Yang maha Esa.
Konsekuensinya, semua bentuk pengaturan hidup dengan menciptakan kekuasaan
mutlak pada semasa manusia merupakan hal yang tidak adil dan tidak beradap.
Kelanjutan logis dari prinsip Tauhid adalah paham persamaan manusia di hadapan
Tuhan, yang melarang adanya perendahan martabat dan pemaksaan kehendak antar sesama manusia. Bahkan seorang utusan Tuhan
tidak berhak melakukan pemaksaan itu. Dalam perkembangannya, Hatta juga
memandang stimulasi Islam sebagai salah satu sumber yang menghidupkan cita-cita
demokrasi sosial di kalbu para pemimpin pergerakan kabangsaan.
3. Sumber
Nilai yang Berasal dari Barat
Pusat
pertumbuhan demokrasi terpenting di Yunani adalah kota Athena, yang sering
dirujuk sebagai contoh pelaksanaan Demokrasi Partisipatif dalam negara-negara
abad ke-5 SM. Selanjutnya muncul pula praktik pemerintahan sejenis Romawi,
tepatnya di kota Roma (Italia). Yakni
sistem pemerintahan Republik. Model pemerintahan demokratis model Athena dan
Roma ini kemudian menyebar ke kota lain di sekitarnya, seperti Florence dan
Veniece.
Kehadiran
Kolonialisme Eropa, khususnya Belanda, di Indonesia membawa dua sisi dari koin
peradaban Barat: Sisi Represi imprealisme-kapitalisme dan sisi
humanisme-demokrasi.
Sumber inspirasi
dari anasir demokrasi desa, ajaran Islam, sosiologi demokrasi barat, memberikan
landasan persatuan dan keragaman. Segala keragaman ideologi-politik yang
dikembangkan, yang bercorak keagamaan maupun sekuler. Semuanya memiliki titik
temu dalam gagasan-gagasan demokrasi sosialitik (kekeluargan) dan secara umum
menolak individualisme.
D.
Argumen
Tentang Dinamika dan Tantangan Demokrasi yang Bersumber dari Pacasila
Kita dapat melihat postur demokrasi secara normatif
pada konstitusi negara kita. Indonesia mengalami perubahan konstitusi dimulai
sejak berlakunya UUD 1945(I), Konstitusi RIS 1949, UUDS1950, Kembali ke UUD
1945(II) dan akhirnya kita telah berhasil mengamandemen UUD 1945 sebanyak empat
kali. Untuk melihat demokrasi pada saat sekarang ini kita dapat melihat dari
fungsi dan peran lembaga permusyawaratan dan perwakilan rakyat menurut UUD NRI
Tahun 1945, MPR, DPR dan DPD.
Untuk memahami dinamika dan tantangan demokrasi di
Indonesia, kita dapat membandingkan aturan dasar dalam naskah asli UUD 1945 dan
bagaimana perubahannya berkaitan dengan MPR, DPR, dan DPD (Asshiddiqie dkk,
2008).
1. Majelis
Permusyawaratan Rakyat
·
Sebelum UUD 1945 diamandemen MPR
merupakan lembaga tertinggi negara.
·
Setelah UUD 1945 diamandemen MPR bukan
lagi merupakan lembaga tertinggi negara, tetapi sama halnya dengan lembaga
negara lainnya.
·
Kedudukan MPR berubah dari sistem
vertikal hierarkis dengn prinsip supremasi MPR menjadi sistem yang horizontal
fundamental dengan prinsip checks and
balances (saling mengawasi dan mengimbangi) antar lembaga negara.
·
Setelah UUD 1945 diamandemen MPR tidak
lagi berwenang menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
·
Kewenangan baru MPR ialah melantik
Presiden dan Wakil presiden (Pasal 3 ayat 2 UUD 1945). Serta memberhentikan
Presiden atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya (Pasal 3 ayat 3 UUD 1945).
·
MPR bisa mengisi lowongan jabatan
presiden dan wakil presiden secara bersama-sama atau bilamana wakil presiden
berhalangan tetap Pasal 8 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945.
2. Dewan
Perwakilan Rakyat
·
Setelah UUD 1945 diamandemen yang
berubah ialah anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum
·
DPR memegang kekuasaan untuk membentuk
Undang-undang
·
Dalam UUD 1945 yang telah diamandemen,
Presiden turut andil dalam mengesahkan rancangan undang-undang yang telah
disepakati bersama Pasal 20 ayat 4.
·
Kemudian perubahan UUD 1945 setelah
amandemen ialah apabila rancangan undang-undang yang telah disepakati bersama
tidak mendapat persetujuan dari presiden selama dalam waktu 30 hari setelah
perancangan maka rancangan undang-unang tersebut sah menjadi undang-undang dan
wajib diundangkan. Pasal 20 ayat 5
·
Berdasarkan pasal 20 A ayat 1 funsi DPR
itu ada tiga yaitu fumgsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.
·
Berdasarkan Pasal 20 A ayat 2 DPR
mempunyai hak yaitu, hak interplasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
3. Dewan
Perwakilan Daerah
·
Anggota DPD dipilih melalui pemilihan
umum disetiap provinsi
·
DPD dapat mengajukan rancangan
Undang-Undang kepada DPR yang menyangkut tentang otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
SDA dan SDE lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah.
·
DPD ikut mebahas rancangan Undang-Undang
yang berkitan dengan daerah. Serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas
rancangan undang-undang.
·
DPD dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang.
Demikianlah dinamika yang terjadi dengan lembaga
permusyawaratan dan perwakilan di negara kita yang secara langsung mempengaruhi
kehidupan demokrasi. Dinamika ini tentu saja kita harapkan dapat membuat
semakin sehat dan dinamisnya Demokrasi Pancasila yang tengah melakukan
konsolidasi menuju demokrasi yang matang.
E.
Deskripsi
Esensi dan Urgensi Demokrasi Pancasila
1. Kehidupan
Demokratis yang Bagaimana yang kita Kembangkan?
Sebagai
demokrasi yang berakar pada budaya bangsa, kehidupan demokratis yang kita
kembangkan harus mengacu pada landasan idiil Pancasila dan landasan
konstitusional UUD 1945. Berikut ini di ketengahkan “Sepuluh Pilar Demokrasi
Pancasila” yang dipesankan oleh para pembentuk negara RI, sebagaimana
diletakkan dalam UUD 1945 (Sanusi 1998).
No.
|
Pilar
Demokrasi Pancasila
|
Maksud
Esensinya
|
1.
|
Demokrasi
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
|
Seluk-beluk
sistem serta perilaku dalam menyelenggarakan kenegaraan RI harus taat asas,
konsisten, atau sesuai dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah dasar Ketuhanan
Yang Maha Esa
|
2.
|
Demokrasi
dengan Kecerdasan
|
Mengatur
dan menyelenggarakan demokrasi menurut UUD 1945 itu bukan dengan kekuatan
naluri, kekuatan otot atau kekuatan massa semata-mata. Pelaksanaan demokrasi
itu justru lebih menuntut kecerdasan rohaniah, kecerdasaan aqliyah,
kecerdasan rasional dan kecerdasan emosional
|
3.
|
Demokrasi
yang Berkedaulatan Rakyat
|
Kekuasaan
tertinggi ada di tangan rakyat. Secara prinsip, rakyatlah yang
memiliki/memegang kedaulatan itu. Dalam batas-batas tertentu kedaulatan
rakyat itu dipercayakan kepada wakil-wakil rakyat di MPR(DPR/DPD) dan DPRD
|
4.
|
Demokrasi
dengan Rule of Law
|
·
Kekuasaan negara RI itu harus mengandung,
melindungi serta mengembangkan kebenaran hukum (legal truth) bukan demokrasi ugal-ugalan, demokrasi dagelan atau
demokrasi manipulatif
·
Kekuasaan negara itu memberikan keadilan hukum (legal justice) bukan demokrasi yang
terbatas pada keadilan formal dan pura-pura
·
Kekuasaan negara itu menjamin kepastian hukum (legal security) bukan demokrasi yang
membiarkan kesemrawutan dan anarki
·
Kekuasaan negara itu mengembangkan manfaat atau
kepentingan hukum (legal interest),
seperti kedamaian dan pembangunan, bukan demokrasi yang justru memopulerkan
fitnah dan hujatan atau menciptakan perpecahan, permusuhan dan kerusakan
|
5.
|
Demokrasi
dengan Pembagian Kekuasaan
|
Demokrasi
menurut UUD 1945 bukan saja mengakui kekuasaan RI yang tidak terbatas secara
hukum, melainkan juga demokrasi itu dikuatkan dengan pembagian kekuasaan
negara dan diserahkan kepada badan-badan negara yang bertanggung jawab. Jadi
demokrasi menurut UUD 1945 mengenal semacam division and separatation of power, dengan sistem check and balance
|
6.
|
Demokrasi
dengan Hak Asasi Manusia
|
Demokrasi
menurut UUD 1945 mengakui hak asasi manusia yang tujuannya bukan saja
menghormati hak-hak asasi tersebut, melainkan terlebih-lebih untuk
meningkatkan martabat dan derajat manusia seutuhnya
|
7.
|
Demokrasi
dengan Pengadilan yang Merdeka
|
Demokrasi
menurut UUD 1945 menghendaki diberlakukannya sistem peradilan yang merdeka
(independen) yang memberi peluang seluas-luasnya kepada semua pihak yang
berkepentingan untuk mencari dan menemukan hukum yang seadil-adilnya . Di
muka pengadilan yang merdeka, penggugat dengan pengacaranya, penuntuk umum
dan terdakwa dengan pengacaranya mempunyai hak yang sama untuk mengajukan
konsideransi, dalil-dalil,fakta-fakta, saksi, alat, pembuktian dan petitumnya
|
8.
|
Demokrasi
dengan Otonomi Daerah
|
Otonomi
daerah merupakan pembatasan terhadap kekuasaan negara, khususnya kekuasaan
legislatif dan eksekutif di tingkat pusat, dan lebih khusus lagi pembatasan
atas kekuasaan presiden. UUD 1945 secara jelas memerintahkan dibentuknya
daerah-daerah otonom besar dan kecil, yang ditafsirkan daerah otonom I dan
II. Dengan Peraturan Pemerintah daerah-daerah otonom itu dibangun dan
disiapkan untuk siap mengatur dan menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan
sebagai urusan rumah tangganya sendiri yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat
kepadanya.
|
9.
|
Demokrasi
dengan Kemakmuran
|
Demokrasi
itu bukan hanya soal kebebasan dan hak, bukan hanya soal kewajiban dan
tanggung jawab, bukan pula hanya soal mengorganisir kedaulatan rakyat atau
pembagian kekuasaan kenegaraan. Demokrasi itu bukan pula hanya soal otonomi
daerah dan keadilan hukum. Sebab bersamaan itu semua, jika dipertanyakan “where is the beef?”, demokrasi menurut
UUD 1945 itu ternyata ditujukan untuk membangun negara kemakmuran oleh dan
untuk sebesar-besarnya rakyat Indonesia
|
10.
|
Demokrasi
yang Berkeadilan
|
Sosial,
Demokrasi menurut UUD 1945 menggariskan keadilan sosial di antara berbagai
kelompok, golongan dan lapisan masyarakat. Tidak ada golongan, lapisan,
kelompok, satuan atau organisasi yang menjadi anak emas, yang diberi berbagai
keistimewaan atau hak-hak khusus
|
2. Mengapa
Kehidupan yang Demokrasi Itu Penting?
2.1.Partisipasi
dalam Pembuatan Keputusan
Dalam negara yang
menganut sistem pemerintahan demokrasi, kekuasaan tertinggi berada di tangan
rakyat dan pemerintahan dijalankan berdasarkan kehendak rakyat. Sebagai contoh
ketika masyrakat kota tertentu resah dengan semakin tercemarnya udara oleh asap
rokok yang berasal dari para perokok, maka pemerintah kota mengeluarkan
peraturan daerah tentang larangan merokok di tempat umum.
2.2.Persamaan
Kedudukan di Depan Hukum
Seiring dengan adanya
tuntutan agar pemerintah harus berjalan dengan baik dan dapat mengayomi rakyat
dibutuhkan adanya hukum. Hukum itu mengatur bagaimana seharusnya penguasa
bertindak, bagaimana hak dan kewajiban dari penguasa dan juga rakyatnya.
Artinya, hukum harus dijalankan dengan adil dan tidak pandang bulu. Untuk
menciptakan hal itu harus ditunjang dengan adanya aparat penegak hukum yang
tegas dan bijaksana.
2.3.Distribusi
Pendapatan Secara Adil
Dalam negara demokrasi,
semua bidang dijalankan dengan berdasarkan prinsip keadilan bersama dan tidak
berat sebelah, termasuk di dalam bidang ekonomi. Semua warga negara berhak memperoleh
pendapatan yang layak.
Dari uraian di atas
dapat dipahami bahwa kehidupan demokratis penting dikembangkan dalam berbagai
kehidupan, karena seandainya kehidupan demokratis tidak terlaksana, maka asas
kedaulatan rakyat tidak berjalan, tidak ada jaminan HAM, tidak ada persamaan di
depan hukum.
3. Bagaimana
Penerapan Demokrasi dalam Pemilihan Pemimpin Politik dan Pejabat Negara?
Pemilihan pemimpin
merupakan wujud partisipasi politik. Partisipasi politik
adalah kegiatan kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka
mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau
tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.[6]
Seorang pemimpin memang
harus yang memiliki kemampuan memadai sehingga ia mampu melindungi dan
mengayomi rakyatnya dengan baik. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus
memenuhi syarat-syarat tertentu. Berdasarkan sistem demokrasi yang kita anut,
seorang pemimpin itu harus beriman dan bertaqwa, bermoral, berilmu, terampil, dan
demokratis
F.
Studi
Kasus
Studi
kasus mengenai Demokrasi Pancasila di Indonesia dapat kita lihat dari kasus “Terkekangnya
Media Pers Saat Era Orde Baru”. Ketika Orde Lama runtuh dan kemudian memasuki Era
Orde Baru para media pers mendapat tekanan yang begitu keras dari pemerintah dan
mulai terkekang pergerakannya. Pers dilarang untuk memberitakan berita miring
seputar pemerintahan. Jika ada yang berani memberikan kiritikan kepada
pemerintahan saat itu dan kemudian mempublikasikannya maka akan ada ancaman
keras yang akan diperoleh oleh penerbit.
Selain
itu, pemerintah didukung dengan adanya siaran televisi yang dikuasainya, yaitu
TVRI, dan ditambah lagi pemerintah dengan berbagai peraturannya memberendel
berbagai media cetak yang tidak sejalan dengan pemerintahan. Bentuk lain dari pengekangan pers saat itu
ialah munculnya SIUPP (Surat Izin Untuk Penerbitan Pers). Demikianlah ketatnya
masa orde baru terhadap pers, sehingga peranan Pers sebagai transmisi informasi
dan katalisator bagi perubahan politik sosial tidak dapat berjalan baik. Hal
ini tentunya sangat tidak sesuai dengan Demokrasi Pancasila yang mengusung
kebebasan berpendapat.
Bagan 1. Sumber : http://www.kompasiana.com/hildasaadatinis/terkekangnya-media-pers-saat-era-orde-baru_55283e5d6ea834031d8b4590
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Demokrasi
Indonesia adalah demokrasi yang berdasar Pancasila dan UUD 1945. Demokrasi
Pancsila dalam arti luas adalah kedaulatan atau kekuasaan tertinggi ada di
tangan rakyat yang dalam penyelenggaraannya dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila
dan dijalankan sesuai rumusan nilai dan norma dalam UUD 1945. Praktik yang
berjalan juga harus sesuai dengan dinamika perkembangan kehidupan kenegaraan
Indonesia. Sekalipun telah terumus dengan baik, namun dalam kenyataannya
praktik Demokrasi Pancasila mengalami pasang surut. Oleh karena itu, perjuangan
untuk menuju Indonesia menjadi lebih baik turut menjadi tanggung jawab bersama
melalui peran kita dalam mempertahankan Demokrasi Pancasila sebagai ciri khas
yang dimiliki Indonesia.
B.
Saran
1. Otoritas
tertinggi dalam sebuah negara yaitu pemerintah, hendaknya mengetahui dan
memahami dengan jelas hakikat dan makna dari Pancasila itu sendiri serta
berupaya mewujudkannya dalam mengayomi dan menyejahterakan rakyatnya
2. Masyarakat
juga hendaknya memahami betul makna Demokrasi Pancasila sehingga dapat menjadi
pedoman dan kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga mampu untuk bisa lebih
pro-aktif demi Indonesia yang lebih baik kedepan
3. Mahasiswa
sebagai akademisi hendaknya mampu menciptakan dan mengawal proses berbangsa dan
bernegara berdasarkan cita-cita dari Pancasila itu sendiri, sehingga tercipta
bangsa yang beradab dan memiliki potensi masa depan yang cerah dan tidak mudah
terprovokasi untuk merusak tatanan pancasila itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Budiarjo Miriam.
(1981). Dasar-dasar Ilmu Politik.
Jakarta:Gramedia.
Kaelan dan Achmad Zubaidi. (2007). Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta:
PARADIGMA.
Maarif Ahmad Syafii. (1996). Islam dan Politik: Teori
Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Jakarta: Gema Insani
Press.
Priyono AE dan Usman
Hamid. (2014). Merancang Arah Baru
Demokrasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
RISTEKDIKTI. (2016). Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta:Direktorat Jenderal
Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi.
Halaman
Web
http://www.kompasiana.com/hildasaadatinis/terkekangnya-media-pers-saat-era-orde-baru_55283e5d6ea834031d8b4590
[1]
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik,(
Jakarta: Gramedia, 1981) h. 105
[2] RISTEKDIKTI, Pendidikan
Kewarganegaraan, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembelajaran dan
Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi) h. 145
[3]
Prof. Dr. H. Kaelan, M.S dan Drs. H. Achmad Zubaidi, M.Si, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: PARADIGMA, 2007) hlm. 70
[4]
AE Priyono dan Usman Hamid, Merancang
Arah Baru Demokrasi, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014) h.143
[5]
Dr. Maarif Ahmad Syafii, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi
Terpimpin (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h. 197