HUKUM
PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL
Oleh : Eben Ezher Pakpahan, Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Riau
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Konflik
atau sengketa adalah istilah-istilah yang sering ditemukan atau di dengar dalam
kehidupan sehari-hari. Konflik atau sengketa bisa saja terjadi dikarenakan hal
yang sepele, misalnya konflik antar tetangga yang mempermasalahkan batas tanah,
sengketa pelanggaran perjanjian atau kontrak. Akan tetapi setiap orang sudah
pasti tidak menginginkan suatu konflik atau sengketa terjadi di dalam
kehidupannya.
Sebuah
konflik, yakni sebuah situasi di mana dua pihak atau lebih dihadapkan pada
perbedaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sengketa apabila pihak
yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keprihatinannya.
Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa bilamana pihak
yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak atau keprihatinannya, baik
secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau
kepada pihak lain.[1]
Permasalahan di dalam hubungan Internasional
merupakan hal yang tidak dapat dihindari oleh setiap negara. Hal ini menyangkut
hubungan antara negara dalam mempertahankan kedaulatan maupun kepentingan
masing-masing, sehingga timbul suatu perselisihan internasional akibat dari
interaksi yang dilakukan antar negara. Penyebab dari sengketa dapat terjadi
akibat berbagai macam permasalahan seperti faktor politik, ekonomi, sosial,
bahkan budaya. Hal ini bisa saja menimbulkan suatu permasalahan besar berupa
sengketa yang melibatkan berbagai negara maupun organisasi internasional.
Upaya-upaya
penyelesaian terhadap sengketa internasional telah menjadi perhatian yang cukup
penting di masyarakat internasional sejak awal abad ke-20. Upaya-upaya ini
ditunjukan untuk menciptakan hubungan antarnegara yang lebih baik berdasarkan
prinsip perdamaian dan keamanan internasional.2 Peran hukum internasional dalam
penyelesaian sengketa internasional adalah memberikan cara bagaimana para pihak
yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum internasional. Dalam
perkembangan awalnya, hukum internasional mengenal 2 cara penyelesaian, yaitu cara
penyelesaian secara damai dan perang (militer).3 Cara perang untuk
menyelesaikan sengketa merupakan cara yang telah diakui dan dipraktikan sejak
lama. Bahkan perang telah juga dijadikan sebagai alat atau instrumen dan
kebijakan luar negeri. Sebagai contoh Napoleon Bonaparte menggunakan perang
untuk menguasai wilayah-wilayah di Eropa di abad XIX[2]
Proses
penyelesaian sengketa yang sudah dikenal sejak lama adalah melaui proses
litigasi di pengadilan. Proses litigasi cenderung menghasilkan masalah baru
karena sifatnya yang win-lose, tidak responsif, time consuming proses
berperkaranya, dan terbuka untuk umum. Seiring dengan perkembangan zaman,
proses penyelesaian sengketa diluar pengadilan pun ikut berkembang.
Penyelesaian
sengketa diluar pengadilan besifat tertutup untuk umum (close door session) dan kerahasian para pihak terjamin (confidentiality), proses beracara lebih
cepat dan efisien. Proses penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini
menghindari kelambatan yang diakibatkan prosedural dan administratif sebagi
mana beracara di pengadilan umum dan win-win
solution.[3]
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
definisi dari sengketa internasional?
2. Bagaimana
penyelesaian sengketa dalam hukum internasional?
3. Apa
sajakah macam-macam dari bentuk penyelesaian sengketa internasional?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui definisi sengketa internasional
2. Menjelaskan
penyelesaian sengketa dalam hukum internasional
3. Memaparkan
macam-macam bentuk penyelesaian sengketa internasional
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Sengketa Internasional
Sengketa
internasional (International Dispute) adalah suatu perselisihan antara
subjek-subjek hukum internasional mengenai fakta, hukum atau politik dimana
tuntutan atau pernyataan satu pihak ditolak, dituntut balik atau diingkari oleh
pihak lainnya.2Sengketa internasional terjadi apabila perselisihan tersebut
melibatkan pemerintah, lembaga juristic person (badan hukum) atau
individu dalam bagian dunia yang berlainan terjadi karena:
1. Kesalahpahaman tentang suatu hal
2. Salah satu pihak sengaja melanggar hak / kepentingan negara lain
3. Dua negara berselisih pendirian tentang suatu hal
4. Pelanggaran
hukum / perjanjian internasional
Dalam
studi hukum internasional publik, dikenal dua macam sengketa internasional,
yaitu sengketa hukum (legal or judicial disputes) dan sengketa politik
(political or nonjusticiable disputes). Dalam praktiknya tidak terdapat
kriteria pembedaan jelas yang dapat digunakan untuk membedakan antara sengketa
hukum dan sengketa politik. Meskipun sulit untuk membuat perbedaan tegas antara
istilah sengketa hukum dan sengketa politik, namun para ahli memberikan
penjelasan mengenai cara membedakan sengketa hukum dan sengketa politik.
Menurut
Friedmann, meskipun sulit untuk membedakan kedua pengertian tersebut, namun
perbedaannya dapat terlihat pada konsepsi sengketanya. Konsepsi sengketa hukum
memuat hal-hal berikut:
a. Sengketa hukum
adalah perselisihan antar negara yang mampu diselesaikan oleh pengadilan dengan
menerapkan aturan hukum yang telah ada dan pasti.
b. Sengketa hukum
adalah sengketa yang sifatnya memengaruhi kepentingan vital negara, seperti
integritas wilayah, dan kehormatan atau kepentingan lainnya dari suatu negara.
c. Sengketa hukum
adalah sengketa dimana penerapan hukum internasional yang ada cukup untuk
menghasilkan putusan yang sesuai dengan keadilan antar negara dan perkembangan
progresif hubungan internasional.
d. Sengketa hukum
adalah sengketa yang berkaitan dengan persengketaan hak-hak hukum yang
dilakukan melalui tuntutan yang menghendaki suatu perubahan atas suatu hukum
yang telah ada.
Menurut
Sir Humprey Waldock, penentuan suatu sengketa sebagai suatu sengketa hukum atau
politik bergantung sepenuhnya kepada para pihak yang bersangkutan. Jika para
pihak menentukan sengketanya sebagai sengketa hukum maka sengketa tersebut
adalah sengketa hukum. Sebaliknya, jika sengketa tersebut menurut para pihak
membutuhkan patokan tertentu yang tidak ada dalam hukum internasional, misalnya
soal pelucutan senjata maka sengketa tersebut adalah sengketa politik.
Sedangkan
Menurut Oppenheim dan Kelsen, tidak ada pembenaran ilmiah serta tidak ada dasar
kriteria objektif yang mendasari perbedaan antara sengketa politik dan hukum.
Menurut mereka, setiap sengketa memiliki aspek politis dan hukumnya. Sengketa
tersebut biasanya terkait antar negara yang berdaulat. Oppenheim dan Hans
Kelsen menguraikan pendapatnya tersebut sebagai berikut:
“All disputes have
their political aspect by the very fact that they concern relations between
sovereign states. Disputes which, according to the distinction, are said to be
of a legal nature might involve highly important political interests of the
states concerned; conversely, disputes reputed according to that distinction to
be a political character more often than not concern the application of a
principle or a norm of international law.”
Huala
Adolf mengeluarkan pendapat yang sama. Menurut beliau, jika timbul sengketa
antara dua negara, bentuk atau jenis sengketa yang bersangkutan ditentukan
sepenuhnya oleh para pihak. Bagaimana kedua negara memandang sengketa tersebut
menjadi faktor penentu apakah sengketa yang terjadi merupakan sengketa hukum
atau politik.
Dari
pendapat-pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pembedaan jenis
sengketa hukum dan politik internasional dapat dilakukan. Pembedaan dapat
dilakukan dengan melihat sumber sengketa dan bagaimana cara sengketa tersebut
diselesaikan, apabila sengketa terjadi karena pelanggaran terhadap hukum
internasional maka sengketa tersebut menjadi sengketa hukum, selain pelanggaran
terhadap hukum internasional sengketa dapat terjadi akibat adanya benturan
kepentingan yang melibatkan lebih dari satu negara, sengketa yang melibatkan
kepentingan inilah yang dimaksud sengketa politik.[4]
B.
Penyelesaian
Sengketa Internasional
1.
Negosiasi
Negosiasi merupakan
cara penyelesaian sengketa yang paling penting dan banya ditempuh, serta
efektif dalam penyelesaian sengketa internasional. Praktik negara-negara
menunjukkan bahwa mereka lebih cenderung untuk menggunakan sarana negosiasi
sebagai langkah awal untuk penyelesaian sengketanya. Beberapa penulis
membedakan negosiasi dengan konsultasi. Joe Diaconu, antara lain menyatakan
bahwa konsultasi adalah bentuk lain dari negosiasi yang sifatnya lebih
sederhana, informal, dan langsung. Negosiasi ada perundingan yang diadakan
secara langsung anatara pihak-pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian
melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa,
masyarakat internasional telah menjadikan negosiasi ini sebagai langkah pertama
dalam penyelesaian sengketa. Dialog tersebut biasanya lebih banyak diwarnai
pertimbangan politisi dari pada pertimbangan atau arguman hukum. Namun demikian
dalam proses negosiasi atau dialog tersebut ada kalanya argumen-argumen hukum
cukup banyak berfungsi memperkuat kedudukan para pihak manakala proses ini
berhasil, hasilnya biasanya dituangkan dalam sebuah dokumen yang memberinya
kekuatan hukum. Misalnya hasil kesepakatan negosiasi yang dituangkan dalam
suatu dokumen perjanjian perdamaian. Selanjutnya para pihak biasanya
mensyaratkan, bahwa apabila cara ini gagal dalam jangka waktu tertentu, mereka
sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa pada cara lain.
Segi positif dari
negosiasi adalah sebagi berikut:
·
Para pihak sendiri yang melakukan
perundingan atau negosiasi secara langsung dengan pihak lainnya.
·
Para pihak memiliki kebebasan untuk
menentukan bagaimana penyelesaian secara negosiasi ini dilakukan menurut
kesepakatan mereka.
·
Para pihak mengawasi atau memantau
secara langsung prosedur penyelesainnya.
·
Negosiasi menghindari perhatian publik
dan tekanan politik didalam negeri.
·
Dalam negosiasi para pihak berupaya
mencari penyelesaian yang dapat diterima dan memuaskan para pihak, sehingga
tidak ada pihak yang menang ataupun kalah, tetapi diupayakan kedua belah pihak
menang.
·
Negosiasi dimungkinkan dapat digunakan
untuk setiap tahap penyelesaian sengketa dalam setiap bentuknya, baik itu
negosiasi secara tertulis dan lisan, bilateral, dan lain-lain.
Segi
negatif dari negosiasi :
·
Proses penyelesain demikian tidak
memungkin kan fakta-fakta yang melingkupi suatu sengketa di tetapkan dengan
objek.
·
Cara penyelesain seperti ini tidak dapat
menyelesaikan sengketa tertentu atau dapat menjamin bahwa negosiasi akan
menyelesaikan sengketa karena salh satu pihak dapat saja bersi keras dengan
pendiriannya.
·
Tertutupnya keikutsertaan pihak ketiga
untuk menyelesaikan sengketa, proses ini apabila salah satu pihak berada dlam
posisi yang lebih lemah. [5]
Ø Bentuk
Negosiasi
Negosiasi antarnegara biasanya dilakukan melalui saluran
‘diplimatik normal’ yakni oleh masing-masing pejabat urusan luar negeri, atau
oleh wakil-wakil diplomatik, yang dalam hal adanya negosiasi yang kompleks
dapat membawa delegasi termasuk wakil-wakil dari beberapa departemen
pemerintahan yang berkepentingan. Sebagai alternatif, jika pokok masalahnya
sesuai, negosiasi dapat dilaksanakan oleh apa yang disebut ‘departemen yang berwenang’
masing-masing pihak, yaitu oleh wakil-wakil menteri atau departement tertentu
yang bertanggung jawab atas masalah tersebut misalnya dalam hal persetujuan
dagang dilakukan oleh departement perdagangan, atau pertahanan dalam masalah
negosiasi persolaan jual beli senjata. Jika departement yang berwenang tersebut
adalah badan-badan yang lebih rendah, maka departement tersebut dibeari
kewenangan untuk melakukan negosiasi sejauh mungkin dan untuk menyerahkan
perselisihan pada tingkat departement yang lebih tinggi.
Ø Keterbatasan
Negosiasi
Negosiasi tidak akan efektif jika posisi pihak-pihak
saling menjauh dan tidak ada kepentingan bersama untuk menjembatani jurang itu
dalam suatu sengketa jika satu pihak menuntut atas pihaknya, berusaha mencari
penyelesaian berdasarkan equity, ada sedikit kesempatan untuk diadakan
persetujuan tentang masalah yang mendasar, dan bahkan persetujaun prosedural,
untuk menyerahkan sengketa itu pada lembaga arbitrasi misalnya, mungkin sulit
untuk mnegadakan negosiasi tanpa pura-pura untuk merugikan satu pihak atau
pihak lain. [6]
2.
Mediasi
Bila
pihak-pihak sengketa internasional tidak mampu menyelesaikan sengketa tersebut
melalui negosiasi, dimungkinkan adanya campur tangan pihak ketiga yang akan
menyelesaikan jalan buntu ini dan menghasilkan penyelesaian yang dapat
diterima. Campur tangan seperti ini memiliki bentuk yang berbeda-beda. Pihak
ketiga dengan mudah dapat membantu negara-negara yang bersengketa untuk
melanjutkan negosiasi, atau melakukan hal yang tidak lebih dari memberi mereka
saluran komunikasi tambahan. Dalam keadaan ini pihak ketiga itu dikatakan
menyumbangkan jasa baiknya. Dipihak lain, tugasnya mungkin menyelidiki sengketa
itu dan memberikan proposal formal pada pihak-pihak untuk menyelesaikannya.
Bentuk campur tangan ini disebut konsiliasi. Antara bentuk jasa baik dan konsiliasi
terdapat bentuk campur tangan pihak ketiga yang dikenal mediasi.[7]
Ø Persetujuan
untuk Mediasi
Dengan
menerima mediasi, suatu pemerintah mengakui bahwa sengketanya merupakan masalah
sengketa internasional yang sah. Oleh karena itu, jika yang menjadi pokok
pertentangan adalah mengenai pertanggung jawaban internasional, sebagaimana
dalam sengketa politik apartheid Afrika Selatan, maka tidak akan dibicarakan
mediasi. Unsur-unsur yang dapat menyebabkan suatu pemerintah menerima mediasi
dapat digambarkan dari sengketa-sengketa yang sudah dibahas.
Ø Positif
dan Negatif dari Mediasi
Menurut
Bindschedler ada beberapa segi positif dari mediasi yaitu :
·
Mediator sebagai penengah dapat
memberikan usulan-usulan kompromi diantara para pihak.
·
Mediator dapat memebrikan usaha-usaha
atau jasa-jasa lainnya, seperti bantuan dalam kesepakatan, bantuan keuangan,
mengawasi pelaksanaan kesepakatan, dan lain-lain.
·
Apabila mediatornya adalah negara
biasanya negara tersebut dapat menggunakan pengaruh dan kekuasaannya terhadap
pada pihak yang bersengketa untuk mencapai penyelesaian sengketanya.
·
Negera sebagai mediator biasanya memiliki
fasilitas teknis yang lebih memadai dari pada orang per orangan.
Sedangkan segi
negatifnya dari mediasi adalah mediator yang dapat saja dalam melaksanakan
fungsinya lebih memperhatikan pihak lain.[8]
3.
Penyelidikan
Penyelidikan
sebagai istilah seni, digunakan dalam dua arti, tapi mempeunyai pengertian yang
berkaitan. Dalam arti yang lebih luas penyelidikan menunjukkan pada proses yang
dilakukan kapan saja pengadilan atau badan lain berupaya untuk menyekesaikan
suatu masalah sengketa tentang fakta. Karena sebagaian besar sengketa
internasional menimbulkan persoalan seperti ini, bahkan juga jika ada masalah
hukum atau politik, adalah jelas bahwa penyelidikan dalam pengertian ini sering
akan menjadi komponen utama dari arbitrasi, konsiliasi, tindakan akan
organisasi internasional dan cara penyelesaian lain oleh pihak ketiga.[9]
4.
Konsiliasi
Konsiliasi
adalah suatu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional mengenai keadaan
apapun dimana suatu komisi yang dibentuk oleh pihak-pihak, baik yang bersifat
tetap atau ad hoc untuk menangani suatu sengketa, berada pada pemerikasaan
yang tidak memihak atas sengketa tersebut dan berusaha untuk menentukan batas
penyelesaian yang dapat diterima pihak-pihak atau memberi pihak-pihak,
pandangan untuk menyelesaikannya, seperti bantuan yang mereka pinta.[10]
Penyelesaian
sengketa melalui cara konsiliasi juga melibatkan pihak ketiga( kosiliator) yang
tidak berpihak atau netral dan keterlibatannya karena diminta oleh para pihak.
Menurut Bindschedler, unsur ketidakberpihakan dan kenetralan merupakan kata
kunci untuk keberhasilan fungsi koalisi. Hanya dengan terpenuhinya dua unsur
ini objektivitas dari koalisi dapat tercapai.
Badan
konsiliasi bisa yang sudah melembaga atau bersifat sementara. Proses seperti
ini berupaya mendamaikan pandanagn-pandangan para pihak yang bersengketa meskipun
usulan-usulan penyelesaian yang dibuat oleh konsiliator tidak mempunyai
kekuatan hukum. The huague konvention for the pacific settlement of
international thisspace of 1899 dan 1807 memuat mekanisme dan aturan
pembentukan komisi konsiliasi. Badan seperti ini hanya bisa di bentuk dengan
perstujuan bersama para pihak. Pada umumnya badan ini di beri mandat untuk
mencari dan melaporkan fakta-fakta yang ada di sekitar pokok sengketa.
Perkembangan penting dalam penyelesaian melalui konsiliasi ini di tandai dengan
di tanda tanganinya perjanjian antara Perancis dab Swiss 1925. Dari isi
perjanjian itu tampak ada beberapa fungsi dari badab konsiliasi, yaitu:
·
menganalisis sengketa, mengumpulkan
keterangan mengenai pokok perkara, dan berupaya mendamaikan para pihak.
·
Membuat laporan mengenai hasil upaya nya
dalam mendamaikan para pihak
·
Menetapkan atau membatasi jangka waktu
dalam menjalankan tugas nya.[11]
5.
Arbitrasi
Perkataan
Arbitrase berasl dari arbitrare (
bahasa latin ) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut
kebijaksanaan.[12]
Secara sederhana arbitrasi merupakan istilah yang dipakai untuk menjabarkan
suatu bentuk tata cara bagaimana untuk menyelesaikan sengketa yang timbul,
sehingga mencapai suatu hasil tertentu yang secara hukum final dan mengikat.
Prasyarat yang utama bagi suatu proses arbitrasi yaitu kewajiban pada para
pihak membuat sjuatu kesepakatan tertulis atau perjanjian arbitrasi, dan
kemudian menyepakati hukumdan tata cara bagaimana mereka akan mengakhiri
penyelesaian sengketanya.
Ø Unsur-Unsur
Arbitrasi
Unsur-unsur arbitasi
terbagi sebagai berikut :
·
Cara penyelesaian sengketa secara privat
atau diluar pengadilan
·
Atas dasar perjanjian tertulis dari para
pihak
·
Untuk mengantisipasi sengketa yang
mungkin terjadi atau yang sudah terjadi
·
Dengan melibatkan pihak ketiga yang
berwenang mengambil keputusan
·
Sifat utusannya final dan mengikat[13]
C.
Studi
Kasus
Nicaragua case merupakan
kasus yang ditangani oleh Mahkamah Internasional pada tahun 1986 antara
Nikaragua dengan Amerika Serikat dimana Mahkamah Internasional mengabulkan
gugatan Nikaragua serta memberikan reparasi kepada Nikaragua. Kasus berawal
dari adanya suatu masalah pemerintahan dalam negeri yang terjadi di Nikaragua.
Amerika Serikat kemudian justru mulai terlibat secara aktif dalam permasalahan
intern dari negara tersebut. Namun
Nikaragua menganggap bahwa campur tangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat
tersebut memperburuk keadaan sehingga Nikaragua merasa bahwa Amerika Serikat
telah melakukan beberapa tindakan yang bertentangan dengan kaidah hukum
internasional.
Beberapa tindakan yang dilakukan oleh
Amerika Serikat adalah penanaman ranjau di laut wilayah dan laut pedalaman
Nikaragua sehingga hancurnya kapal-kapal yang berada di laut tersebut. Amerika
Serikat juga melakukan perusakan terhadap beberapa fasilitas sipil dan militer
Nikaragua, serta membantu para gerilyawan yang ingin menggulingkan pemerintahan
Sandinista yang berkuasa di masa itu. Yang menjadi alasan utama Amerika Serikat
untuk melegalkan kehadirannya tersebut adalah besarnya campur tangan yang
pernah dilakukan oleh Nikaragua terhadap urusan dalam negeri negara
tetangganya. Namun Nikaragua menolak secara tegas atas tuduhan yang dilakukan
oleh Amerika Serikat dan justru menyatakan bahwa kehadiran Amerika Serikat-lah
yang sesungguhnya merupakan suatu bentuk intervensi militer besar-besaran yang
sangat berbahaya.
Situasi inilah yang membawa Nikaragua
menempuh beberapa prosedur penyelesaian sengketa internasional untuk menuntut
serta meminta ganti kerugian pada Amerika Serikat sesuai dengan cara yang
tertera pada Pasal 33 ayat (1) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada
akhirnya Nikaragua memutuskan untuk mengajukan sengketa ke Mahkamah
Internasional.
Beberapa mekanisme penyelesaian telah
ditempuh oleh Nikaragua untuk mencari
jalan keluar. Pada tahun 1982 Nikaragua menempuh
konsiliasi dan mediasi. Setahun kemudian diselenggarakanlah pertemuan
negara-negara di Amerika Tengah atas inisiatif Contadora Group sehingga
berhasil disusun sebuah draft agreement berjudul “Contadora Act on
Peace and Co-Operation in Central America”. Dari tahun 1984 sampai
dengan 1986 Dewan Keamanan terus aktif mengadakan pertemuan terkait dengan protes
yang dilakukan oleh Nikaragua, begitu pula yang dilakukan oleh Majelis Umum, Sekjen
PBB, Sekjen Organisasi Negara Amerika Tengah, dan negara-negara grup Contadora.
Ketidakberhasilan dari segala upaya ini menyebabkan Nikaragua memutuskan untuk
mengajukan permohonan penyelesaian sengketanya ke Mahkamah Internasional pada
tahun 1986. Sengketa ini diproses oleh Mahkamah berdasarkan yurisdiksinya
sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional bahwa Mahkamah
berwenang untuk menangani semua perkara yang diajukan terutama yang ditentukan
dalam Piagam PBB. Dalam tuntutannya Nikaragua menyatakan beberapa hal yaitu,
Amerika Serikat telah melanggar kewajiban dalam hukum internasional bahkan
tetap melanjutkan pelanggarannya, menyatakan bahwa pelanggaran yang dilakukan
oleh Amerika Serikat telah mengakibatkan kerugian pada pihak Nikaragua, serta
mewajibkan Amerika Serikat untuk membayar ganti kerugian sejumlah U$
370.200.000. Dalam proses ini, Amerika Serikat menyatakan bahwa Mahkamah tidak
memiliki yurisdiksi dalam hal ini karena Nikaragua tidak pernah tercatat
meratifikasi “Protocol of the Statuta Permanent Court of
International Justice”, yaitu bagian pendahuluan Mahkamah yang mengatur
masalah yurisdiksi Mahkamah. Namun Mahkamah menemukan
bahwa Nikaragua telah menyatakan diri terikat pada yurisdiksi Mahkamah (Nicaragua’s
1929 Declaration) dan telah menjadi anggota Statuta yang baru sehingga memiliki
yurisdiksi sesuai dengan Pasal 36 statuta. Sebagai
hasilnya, pada tahun 1986 Mahkamah memberikan keputusan terhadap sengketa ini
bahwa Amerika Serikat telah melanggar hukum internasional terutama pada
Nikaragua sehingga wajib memberikan ganti rugi. Namun
Amerika Serikat tetap kokoh pada penolakannya sehingga Nikaragua tidak mendapat
ganti rugi apapun.[14]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam sengketa internasional
dapat diselesaikan dengan beberapa cara yaitu seperti negosiasi, mediasi,
penyelidikan, konsiliasi, dan arbitrasi. Negosiasi merupakan cara para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian
sengketanya dan setiap penyelesaiannya didasarkan kesepakatan atau consensus
para pihak. apabila para pihak telah menyerahkan sengketanya kepada suatu badan
peradilan tertentu, proses penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini masih di
mungkin untuk dilaksanakan. Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui
pihak ketiga. Pihak ketiga tersebut disebut dengan mediator. Mediator dapat
merupakan negara, organisasi internasional atau individu. Mediator ikut serta
secara aktif dalam proses negosiasi. Penyelidikan
adalah proses yang dilakukan kapan saja pengadilan atau badan lain berupaya
untuk menyelsaikan maslah sengketa tentang fakta. Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa yang
sifatnya lebih formal dibanding mediasi. Konsiliasi adalah suatu cara
penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh suatu komisi yang dibentuk
oleh para pihak. Arbitrase adalah
penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral yang
mengeluarkan putusan bersifat final dan mengikat (binding). Badan arbitrase
dewasa ini sudah semakin popular dan semakin banyak digunakan dalam
menyelesaikan sengketa-sengketa internasional.
B.
Saran
Secara pribadi maupun sebagai masyarakat internasioan; haruslah dapat
memberikan kontribusi secara aktif dan perdamaian dunia. Sikap positif ini
harus dapat kita tunjukkan apabila kita sebagai negara berdaulat terlibat suatu
sengketa dengan negara lain diserahkan kepada Mahkamah
Internasional. Namun demikian, lebih jauh kita berharap agar jangan sampai ada
persengketaan.
Semoga
makalah ini dapat diterima oleh semua pihak. Kami sebagai penyusun
mengaharapkan kepada pembaca supaya dapat mengkritik mekalah ini untuk tujuan
membangun bagi kebaikan menadatang. Karena kami yakin masih banyak kekurangan
dalam penulisan makalah ini. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat baik untuk
penyusun maupun pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku :
·
Adolf Huala. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta : Sinar Grafika
·
Merrilis J.G. 1996. Penyelesaian Sengketa Internasional. Bandung : Tarsito
·
Winarta Hendra Frans. 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa. Jakarta :
Sinar Grafika
·
Nugroho Adi Susanti. 2015. Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan
Penerapan Hukumnya. Jakarta : Prenadamedia Group.
Web :
[1] Dikutip dari https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37342/4/chapter%2520I.pdf&ved=0ahUKEwiz0ube2pzXAhVMOo8KHW_5BMUQFggcMAE&usg=AOvVaw0EicA3kOMg-HRg95z_h70A diakses tanggal 1 november 2017
pukul 12:23 WIB.
[2] Dikutip
dari https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://digilib.unila.ac.id/3570/13/BAB%2520I.pdf&ved=0ahUKEwjX8YWN35zXAhXIs48KHatIDL8QFghNMAY&usg=AOvVaw2i8lnwUKF1Kn-_mBno4scc
Diakses
tanggal 1 November 2017 pukul 13:38 WIB.
[3] Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa (Jakarta :
Sinar Grafika, 2012), hlm.9.
[4] Dikutip dari https://wisuda.unod.ac.id/pdf/0903005193-3-BAB%2011.pdf diakses tanggal 1 November 2017
pukul 14:00 WIB.
[5] Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional ( Jakarta : Sinar
Grafika, 2004), hlm. 26-27.
[6] J.G. Merrilis, Penyelesaian Sengketa Internasional (
Bandung : Tarsito, 1996 ), hal. 6-15
[8] Huala Adolf, op chit, hlm. 34.
[9] J.G Marrillis, op chit, hlm. 35
[10] Ibid, hlm.54
[11] Huala Adolf, op chit, hlm. 35-36
[12] Frans Hendra Winarta, op chit, hlm. 36
[13] Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan
Penerapan Hukumnya ( Jakarta : Prenadamedia Group, 2015), hlm. 77-80
[14] Dikutip dari http://www.google.co.id/url?q=https://ojs.unud.ac.id/index.php/Kerthanegara/article/view/13080/8756&sa=U&ved=0ahUKEwiTnbGTmqTXAhXCso8KHQSfC0EQFgggMAI&usg=AOvVaw04_zQ4PiEzswTC4_UJx-hv diakses tanggal 4 November 2017
pukul 13 : 04 WIB.