Showing posts with label Hubungan Internasional. Show all posts
Showing posts with label Hubungan Internasional. Show all posts

Tuesday, July 3, 2018

Ruang Lingkup dan Perkembangan Teori Hubungan Internasional


Ruang Lingkup dan Perkembangan Teori Hubungan Internasional
 Oleh : Eben Ezher Pakpahan
 
            Menurut catatan Steve Smith dalam buku The Study of International Relations, The State of The Art[1] bahwa awal perkembangan ilmu hubungan internasional menjadi satu disiplin ilmu tersendiri baru dimulai segera setelah Perang Dunia I (PD I). Sebelum PD I, terutama merujuk perkembangan di Eropa umumnya, khususnya di Inggris, kajian hubungan internasional dipelajari secara terpisah diberbagai cabang ilmu seperti dalam bidang hukum, sejarah, dan falsafah. Bidang lain yang turut mengkaji ilmu hubungan internasional ketika itu adalah bidang ekonomi terutama yang berkaitan dengan perdagangan internasional. Pendekatan-pendekatan dari bebagai bidang ilmu ini tidak cukup memuaskan untuk memahami intisari hubungan internasional yang sebenarnya.
Ada dua kenyataan yang dihadapi dalam memahami hubungan internasional. Pertama, bahwa masyarakat internasional adalah sangat berbeda dengan masyarakat nasional. Masyarakat internasional terdiri dari aktor-aktor yang memiliki kedaulatan sendiri atau berada dibawah kedaulatan yang berbeda, karena itu tidak tunduk pada satu kekuatan politik dan hukum yang terpusat. Untuk memahami interaksi diantara mereka memerlukan pemahaman yang menyeluruh baik dari aspek politik maupun sejarahnya. Kedua, ilmu hubungan internasional memerlukan pendekatan dan alat (metoda) tersendiri yang berbeda dengan pendekatan atau cara pandang kajian politik umumnya. Kedua kenyataan ini berhadapan dengan kenyataan lainnya yaitu peperangan antar bangsa-bangsa Eropa disatu sisi dan keinginan orang untuk hidup damai telah mendorong para ilmuwan ketika itu untuk mengajukan pemikiran teoritik di bidang hubungan internasional.
Pemikiran yang diajukan adalah hubungan internasional tidak boleh lagi dipandang sebagai disiplin ilmu yang terpisah, melainkan disiplin yang memiliki cara pandang atau pendekatan khusus yang mampu menterjemahkan dan memahami dimensi empiriknya secara utuh. Tatanan politik internasional pada akhir abad 19 itu juga cukup berpengaruh terhadap perkembangan kajian hubungan internasional. Inggris sebagai sebagai kekuatan dominan ketika itu juga mendominasi perkembangan pemikiran dalam bidang kajian ini. Pemikiran yang muncul juga tidak terlepas dari cerminan kepentingan Inggris dalam menghadapi tatanan dunia yang multi polar.
Pemikiran yang diajukan berlandaskan pada hujjah (alasan) bahwa peperangan bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh setiap orang, dan merupakan dosa dan musibah yang terjadi akibat ketidak sengajaan. Peperangan antar bangsa terjadi adalah akibat prasangka yang muncul dalam menafsirkan keamanan yang mendorong orang mengembangkan senjata sehingga pada akhirnya manusia terjebak dalam perang. Hedley Bull salah seorang pemikir ketika itu berpendapat bahwa sistem hubungan internasional yang telah menghasilkan PD I sebenarnya dapat diubah tatanannya secara fundamental kepada keadaan yang lebih damai, dibawah pengaruh kebangkitan demokrasi, pertumbuhan pemikiran global, pembentukan Liga Bangsa Bangsa, karya-karya yang baik tentang perdamaian yang disebarkan melalui pengajaran atau pendidikan. Pemikiran ini dikenal dengan paradigma idealisme.
Berdasarkan keadaan yang dipaparkan di atas tercermin sebuah kenyataan bahwa ilmu hubungan internasional lahir sebagai sebuah disiplin ilmu sangat berbeda dengan ilmu sosial lainnya. Ilmu hubungan internasional pada saat lahirnya sangat preskriptif (memberi pedoman), normatif, dan didasarkan pada karya konseptual dari aktifitas ilmuwan yang sangat dekat keterkaitannya dengan pengambilan kebijakan. Ilmu hubungan internasional lahir dan berkembang sebagai bentuk tanggapan langsung terhadap peristiwa-peristiwa nyata yang terjadi di dunia dan mendefinisikan tujuan-tujuannya untuk mencegah pengulangan peristiwa-peristiwa tersebut.
Pemikiran idealis ini berkembang sejak akhir PD I hingga PD II (1920-an hingga 1930-an). Pemikiran idealis ini tampil menawarkan kepada para pengambil kebijakan di berbagai negara sebuah tatacara untuk menghindari perang. Namun kenyataannya selama dekade 1920-an dan 1930-an ketegangan akibat pacuan senjata di Eropa terus meningkat. Aliasi militer Triple Etente (Inggris, Perancis, Rusia) dan Triple Alliance (Jerman, Italia, Austria) terbentuk dan saling berhadapan. LBB tumbuh menjadi lembaga yang digunakan sebagai ajang membangun kekuatan bagi negara-negara besar Eropa sehingga lembaga yang dibentuk atas dasar cita-cita perdamaian dunia justru berubah menjadi wilayah konflik. Munculnya nazi Jerman sebagai sebuah kekuatan militer besar adalah sebuah kenyataan yang terencana untuk menjadikan negara fasis itu sebagai kekuatan dominan di Eropa. Menguatnya upaya Inggris membangun aliansi untuk mencegah ambisi Jerman adalah kenyataan lain yang juga terencana. Persaingan kekuatan ini kemudian menampilkan kenyataan baru di Eropa, yaitu Perang Dunia II.
Pertanyaan mendasar adalah ketika diyakini manusia berkeinginan untuk damai mengapa mereka merencanakan perang? Pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh pemikiran idealis. Sebaliknya masyarakat dunia dikejutkan dengan kenyataan perang besar yang kesekian kalinya dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa. Masalah utama yang melekat dalam paradigma idealis adalah pemikiran yang ditawarkan jauh dari kenyataan yang dilakukan oleh para pemimpin di negara-negara Eropa. Kenyataan di Eropa menunjukkan keinginan yang kuat dari para pemimpinnya untuk melakukan perang dalam upaya meraih dominasi kekuatan baik dibidang ekonomi maupun militer. Ambisi kekuasaan yang sangat menonjol ini kemudian membimbing bangsa-bangsa Eropa terseret kedalam kekacauan besar yang sama sekali menghancurkan keamanan dan perdamaian. E.H. Carr dalam bukunya The Twenty Years Crisis[2] mengkritik pemikiran idealis bahwa mekanisme yang ditawarkan idealis tidak mampu mencegah perang, dan mediasi untuk meredakan konflik tidak berjalan. Pemikiran idealis dianggap sebagai mimpi kosong (utopia).
Kegagalan paradigma idealis dalam menjelaskan kenyataan hubungan internasional pada dekade 1930-an mendapat tanggapan dengan lahirnya paradigma alternatif yang dikenal sebagai paradigma realisme. Paradigma realisme ini muncul pada era pasca PD II (1940-an) dan secara umum adalah paradigma yang paling dominan, paling tidak dominasinya berlangsung hingga dekade 1980-an. Kemunculan paradigma realisme ini juga tidak terlepas dari tampilnya Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan pada era dan pasca PD II. Bahkan ada kecenderungan pemerintah Amerika mendorong diperkuatnya kajian hubungan internasional untuk memetakan tindakan negara adi daya ini kedepan.
Pemikiran awal yang ditawarkan oleh paradigma realisme ini ada tiga prinsip. pertama adalah negara merupakan aktor terpenting dalam hubungan internasional. Kedua, terdapat perbedaan yang tajam antara politik dalam negeri dan politik internasional. Ketiga, titik tekan perhatian kajian hubungan internasional adalah tentang kekuatan dan perdamaian. Karya yang dinilai fundamental dalam membangun paradigma realis ini adalah Politics Among Nations oleh Morgenthau dan The Twenty Years Crisis oleh E.H. Carr.
Realisme adalah tradisi teoritik yang mendominasi studi hubungan internasional selama masa Perang Dingin. Pendekatan teoritik ini menggambarkan hubungan internasional sebagai suatu pergulatan memperebutkan kekuasaan diantara negara-negara yang masing-masing mengejar kepentingan nasionalnya sendiri dan umumnya pesimistik mengenai prospek upaya penghapusan konflik dan perang. Realisme mendominasi masa Perang Dingin karena gagasan ini bisa memberi penjelasan yang sederhana tetapi cukup meyakinkan mengenai perang, aliansi, imperialisme, hambatan terhadap kerjasama, dan berbagai fenomena internasional, dan karena penekanannya pada kompetisi waktu itu sesuai dengan sifat pokok persaingan AS-Uni Soviet (US).
Realisme memang bukan teori tunggal dan pemikiran realis selama masa Perang Dingin telah mengalami perubahan. Realis “klasik” seperti Hans Morgenthau dan Reihold Niebuhr yakin bahwa, seperti halnya makhluk manusia, setiap negara memiliki keinginan naluriah untuk mendominasi negara-negara lain, sehingga membuat mereka berperang. According to classical realism, because the desire for more power is rooted in the flawed nature of humanity, states are continuously engaged in a struggle to increase their capabilities. The absence of the international equivalent of a state’s government is a permissive condition that gives human appetites free reign. In short, classical realism explains conflictual behavior by human failing.”[3] Morgenthau juga menekankan peran penting dari sistem perimbangan kekuatan multi-polar klasik[4] dan memandang sistem bipolar yang memungkinkan persaingan sengit antara AS dan US sebagai sistem yang sangat berbahaya.
Sebaliknya, teori “neo-realis” yang diajukan oleh Kenneth Waltz mengabaikan peran sifat manusia dan memusatkan perhatian pada akibat dari sistem internasional. Menurut Waltz, sistem internasional terdiri dari sejumlah negara besar, yang masing-masing berusaha untuk bertahan hidup. Karena sistem itu anarkis (yaitu tidak ada wewenang terpusat yang bisa melindungi negara dari serbuan negara lain), maka masing-masing negara harus mempertahankan hidupnya dengan usaha sendiri. Waltz berpendapat bahwa kondisi seperti ini akan mendorong negara-negara yang lebih lemah saling-bersekutu untuk mengimbangi (balance) dan melawan negara-negara yang lebih kuat, bukan malah bergabung (bandwagon) dengan negara-negara kuat itu. Bertolak-belakang dengan pendapat Morgenthau, Waltz menyatakan bahwa bipolaritas lebih stabil daripada multipolaritas.


[1] Dyer Hugh C. & Mangasarian, Leon, (Editors), 1989, The Study Of International Relations, The State of the Art, St. Martin’s Press in association with New York Millenium: Journal of International Studies,
[2] Misalnya, pengembangan sistem persenjataan nuklir dengan kemampuan membalas (retaliatory) yang meyakinkan, bukan menekankan kemampuan menyerbu.
[3] Martin Griffiths, 2007, “International Relations Theory for the Twenty-First Century, An Introduction”, New York : Routledge, hal. 12
[4] Yaitu sistem yang berlaku di Eropa sesudah Perang Napoleon (pertangahan abad 19) sampai sebelum Perang Dunia I (awal abad 20).

Wednesday, January 10, 2018

HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL
Oleh : Eben Ezher Pakpahan, Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Riau



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Konflik atau sengketa adalah istilah-istilah yang sering ditemukan atau di dengar dalam kehidupan sehari-hari. Konflik atau sengketa bisa saja terjadi dikarenakan hal yang sepele, misalnya konflik antar tetangga yang mempermasalahkan batas tanah, sengketa pelanggaran perjanjian atau kontrak. Akan tetapi setiap orang sudah pasti tidak menginginkan suatu konflik atau sengketa terjadi di dalam kehidupannya.
Sebuah konflik, yakni sebuah situasi di mana dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keprihatinannya. Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain.[1]
 Permasalahan di dalam hubungan Internasional merupakan hal yang tidak dapat dihindari oleh setiap negara. Hal ini menyangkut hubungan antara negara dalam mempertahankan kedaulatan maupun kepentingan masing-masing, sehingga timbul suatu perselisihan internasional akibat dari interaksi yang dilakukan antar negara. Penyebab dari sengketa dapat terjadi akibat berbagai macam permasalahan seperti faktor politik, ekonomi, sosial, bahkan budaya. Hal ini bisa saja menimbulkan suatu permasalahan besar berupa sengketa yang melibatkan berbagai negara maupun organisasi internasional.
Upaya-upaya penyelesaian terhadap sengketa internasional telah menjadi perhatian yang cukup penting di masyarakat internasional sejak awal abad ke-20. Upaya-upaya ini ditunjukan untuk menciptakan hubungan antarnegara yang lebih baik berdasarkan prinsip perdamaian dan keamanan internasional.2 Peran hukum internasional dalam penyelesaian sengketa internasional adalah memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum internasional. Dalam perkembangan awalnya, hukum internasional mengenal 2 cara penyelesaian, yaitu cara penyelesaian secara damai dan perang (militer).3 Cara perang untuk menyelesaikan sengketa merupakan cara yang telah diakui dan dipraktikan sejak lama. Bahkan perang telah juga dijadikan sebagai alat atau instrumen dan kebijakan luar negeri. Sebagai contoh Napoleon Bonaparte menggunakan perang untuk menguasai wilayah-wilayah di Eropa di abad XIX[2]
Proses penyelesaian sengketa yang sudah dikenal sejak lama adalah melaui proses litigasi di pengadilan. Proses litigasi cenderung menghasilkan masalah baru karena sifatnya yang win-lose, tidak responsif, time consuming proses berperkaranya, dan terbuka untuk umum. Seiring dengan perkembangan zaman, proses penyelesaian sengketa diluar pengadilan pun ikut berkembang.
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan besifat tertutup untuk umum (close door session) dan kerahasian para pihak terjamin (confidentiality), proses beracara lebih cepat dan efisien. Proses penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini menghindari kelambatan yang diakibatkan prosedural dan administratif sebagi mana beracara di pengadilan umum dan win-win solution.[3]

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi dari sengketa internasional?
2.      Bagaimana penyelesaian sengketa dalam hukum internasional?
3.      Apa sajakah macam-macam dari bentuk penyelesaian sengketa internasional?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui definisi sengketa internasional
2.      Menjelaskan penyelesaian sengketa dalam hukum internasional
3.      Memaparkan macam-macam bentuk penyelesaian sengketa internasional


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sengketa Internasional
Sengketa internasional (International Dispute) adalah suatu perselisihan antara subjek-subjek hukum internasional mengenai fakta, hukum atau politik dimana tuntutan atau pernyataan satu pihak ditolak, dituntut balik atau diingkari oleh pihak lainnya.2Sengketa internasional terjadi apabila perselisihan tersebut melibatkan pemerintah, lembaga juristic person (badan hukum) atau individu dalam bagian dunia yang berlainan terjadi karena:
1. Kesalahpahaman tentang suatu hal
2. Salah satu pihak sengaja melanggar hak / kepentingan negara lain
3. Dua negara berselisih pendirian tentang suatu hal
4. Pelanggaran hukum / perjanjian internasional

Dalam studi hukum internasional publik, dikenal dua macam sengketa internasional, yaitu sengketa hukum (legal or judicial disputes) dan sengketa politik (political or nonjusticiable disputes). Dalam praktiknya tidak terdapat kriteria pembedaan jelas yang dapat digunakan untuk membedakan antara sengketa hukum dan sengketa politik. Meskipun sulit untuk membuat perbedaan tegas antara istilah sengketa hukum dan sengketa politik, namun para ahli memberikan penjelasan mengenai cara membedakan sengketa hukum dan sengketa politik.
Menurut Friedmann, meskipun sulit untuk membedakan kedua pengertian tersebut, namun perbedaannya dapat terlihat pada konsepsi sengketanya. Konsepsi sengketa hukum memuat hal-hal berikut:
a. Sengketa hukum adalah perselisihan antar negara yang mampu diselesaikan oleh pengadilan dengan menerapkan aturan hukum yang telah ada dan pasti.
b. Sengketa hukum adalah sengketa yang sifatnya memengaruhi kepentingan vital negara, seperti integritas wilayah, dan kehormatan atau kepentingan lainnya dari suatu negara.
c. Sengketa hukum adalah sengketa dimana penerapan hukum internasional yang ada cukup untuk menghasilkan putusan yang sesuai dengan keadilan antar negara dan perkembangan progresif hubungan internasional.
d. Sengketa hukum adalah sengketa yang berkaitan dengan persengketaan hak-hak hukum yang dilakukan melalui tuntutan yang menghendaki suatu perubahan atas suatu hukum yang telah ada.
Menurut Sir Humprey Waldock, penentuan suatu sengketa sebagai suatu sengketa hukum atau politik bergantung sepenuhnya kepada para pihak yang bersangkutan. Jika para pihak menentukan sengketanya sebagai sengketa hukum maka sengketa tersebut adalah sengketa hukum. Sebaliknya, jika sengketa tersebut menurut para pihak membutuhkan patokan tertentu yang tidak ada dalam hukum internasional, misalnya soal pelucutan senjata maka sengketa tersebut adalah sengketa politik.
Sedangkan Menurut Oppenheim dan Kelsen, tidak ada pembenaran ilmiah serta tidak ada dasar kriteria objektif yang mendasari perbedaan antara sengketa politik dan hukum. Menurut mereka, setiap sengketa memiliki aspek politis dan hukumnya. Sengketa tersebut biasanya terkait antar negara yang berdaulat. Oppenheim dan Hans Kelsen menguraikan pendapatnya tersebut sebagai berikut:
“All disputes have their political aspect by the very fact that they concern relations between sovereign states. Disputes which, according to the distinction, are said to be of a legal nature might involve highly important political interests of the states concerned; conversely, disputes reputed according to that distinction to be a political character more often than not concern the application of a principle or a norm of international law.”
Huala Adolf mengeluarkan pendapat yang sama. Menurut beliau, jika timbul sengketa antara dua negara, bentuk atau jenis sengketa yang bersangkutan ditentukan sepenuhnya oleh para pihak. Bagaimana kedua negara memandang sengketa tersebut menjadi faktor penentu apakah sengketa yang terjadi merupakan sengketa hukum atau politik.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pembedaan jenis sengketa hukum dan politik internasional dapat dilakukan. Pembedaan dapat dilakukan dengan melihat sumber sengketa dan bagaimana cara sengketa tersebut diselesaikan, apabila sengketa terjadi karena pelanggaran terhadap hukum internasional maka sengketa tersebut menjadi sengketa hukum, selain pelanggaran terhadap hukum internasional sengketa dapat terjadi akibat adanya benturan kepentingan yang melibatkan lebih dari satu negara, sengketa yang melibatkan kepentingan inilah yang dimaksud sengketa politik.[4]


B.     Penyelesaian Sengketa Internasional
1.      Negosiasi
Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling penting dan banya ditempuh, serta efektif dalam penyelesaian sengketa internasional. Praktik negara-negara menunjukkan bahwa mereka lebih cenderung untuk menggunakan sarana negosiasi sebagai langkah awal untuk penyelesaian sengketanya. Beberapa penulis membedakan negosiasi dengan konsultasi. Joe Diaconu, antara lain menyatakan bahwa konsultasi adalah bentuk lain dari negosiasi yang sifatnya lebih sederhana, informal, dan langsung. Negosiasi ada perundingan yang diadakan secara langsung anatara pihak-pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa, masyarakat internasional telah menjadikan negosiasi ini sebagai langkah pertama dalam penyelesaian sengketa. Dialog tersebut biasanya lebih banyak diwarnai pertimbangan politisi dari pada pertimbangan atau arguman hukum. Namun demikian dalam proses negosiasi atau dialog tersebut ada kalanya argumen-argumen hukum cukup banyak berfungsi memperkuat kedudukan para pihak manakala proses ini berhasil, hasilnya biasanya dituangkan dalam sebuah dokumen yang memberinya kekuatan hukum. Misalnya hasil kesepakatan negosiasi yang dituangkan dalam suatu dokumen perjanjian perdamaian. Selanjutnya para pihak biasanya mensyaratkan, bahwa apabila cara ini gagal dalam jangka waktu tertentu, mereka sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa pada cara lain.
Segi positif dari negosiasi adalah sebagi berikut:
·         Para pihak sendiri yang melakukan perundingan atau negosiasi secara langsung dengan pihak lainnya.
·         Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana penyelesaian secara negosiasi ini dilakukan menurut kesepakatan mereka.
·         Para pihak mengawasi atau memantau secara langsung prosedur penyelesainnya.
·         Negosiasi menghindari perhatian publik dan tekanan politik didalam negeri.
·         Dalam negosiasi para pihak berupaya mencari penyelesaian yang dapat diterima dan memuaskan para pihak, sehingga tidak ada pihak yang menang ataupun kalah, tetapi diupayakan kedua belah pihak menang.
·         Negosiasi dimungkinkan dapat digunakan untuk setiap tahap penyelesaian sengketa dalam setiap bentuknya, baik itu negosiasi secara tertulis dan lisan, bilateral, dan lain-lain.


Segi negatif dari negosiasi :
·         Proses penyelesain demikian tidak memungkin kan fakta-fakta yang melingkupi suatu sengketa di tetapkan dengan objek.
·         Cara penyelesain seperti ini tidak dapat menyelesaikan sengketa tertentu atau dapat menjamin bahwa negosiasi akan menyelesaikan sengketa karena salh satu pihak dapat saja bersi keras dengan pendiriannya.
·         Tertutupnya keikutsertaan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa, proses ini apabila salah satu pihak berada dlam posisi yang lebih lemah. [5]

Ø  Bentuk Negosiasi
            Negosiasi antarnegara biasanya dilakukan melalui saluran ‘diplimatik normal’ yakni oleh masing-masing pejabat urusan luar negeri, atau oleh wakil-wakil diplomatik, yang dalam hal adanya negosiasi yang kompleks dapat membawa delegasi termasuk wakil-wakil dari beberapa departemen pemerintahan yang berkepentingan. Sebagai alternatif, jika pokok masalahnya sesuai, negosiasi dapat dilaksanakan oleh apa yang disebut ‘departemen yang berwenang’ masing-masing pihak, yaitu oleh wakil-wakil menteri atau departement tertentu yang bertanggung jawab atas masalah tersebut misalnya dalam hal persetujuan dagang dilakukan oleh departement perdagangan, atau pertahanan dalam masalah negosiasi persolaan jual beli senjata. Jika departement yang berwenang tersebut adalah badan-badan yang lebih rendah, maka departement tersebut dibeari kewenangan untuk melakukan negosiasi sejauh mungkin dan untuk menyerahkan perselisihan pada tingkat departement yang lebih tinggi.

Ø  Keterbatasan Negosiasi
            Negosiasi tidak akan efektif jika posisi pihak-pihak saling menjauh dan tidak ada kepentingan bersama untuk menjembatani jurang itu dalam suatu sengketa jika satu pihak menuntut atas pihaknya, berusaha mencari penyelesaian berdasarkan equity, ada sedikit kesempatan untuk diadakan persetujuan tentang masalah yang mendasar, dan bahkan persetujaun prosedural, untuk menyerahkan sengketa itu pada lembaga arbitrasi misalnya, mungkin sulit untuk mnegadakan negosiasi tanpa pura-pura untuk merugikan satu pihak atau pihak lain. [6]


2.      Mediasi
Bila pihak-pihak sengketa internasional tidak mampu menyelesaikan sengketa tersebut melalui negosiasi, dimungkinkan adanya campur tangan pihak ketiga yang akan menyelesaikan jalan buntu ini dan menghasilkan penyelesaian yang dapat diterima. Campur tangan seperti ini memiliki bentuk yang berbeda-beda. Pihak ketiga dengan mudah dapat membantu negara-negara yang bersengketa untuk melanjutkan negosiasi, atau melakukan hal yang tidak lebih dari memberi mereka saluran komunikasi tambahan. Dalam keadaan ini pihak ketiga itu dikatakan menyumbangkan jasa baiknya. Dipihak lain, tugasnya mungkin menyelidiki sengketa itu dan memberikan proposal formal pada pihak-pihak untuk menyelesaikannya. Bentuk campur tangan ini disebut konsiliasi. Antara bentuk jasa baik dan konsiliasi terdapat bentuk campur tangan pihak ketiga yang dikenal mediasi.[7]

Ø  Persetujuan untuk Mediasi
Dengan menerima mediasi, suatu pemerintah mengakui bahwa sengketanya merupakan masalah sengketa internasional yang sah. Oleh karena itu, jika yang menjadi pokok pertentangan adalah mengenai pertanggung jawaban internasional, sebagaimana dalam sengketa politik apartheid Afrika Selatan, maka tidak akan dibicarakan mediasi. Unsur-unsur yang dapat menyebabkan suatu pemerintah menerima mediasi dapat digambarkan dari sengketa-sengketa yang sudah dibahas.

Ø  Positif dan Negatif dari Mediasi
Menurut Bindschedler ada beberapa segi positif dari mediasi yaitu :
·         Mediator sebagai penengah dapat memberikan usulan-usulan kompromi diantara para pihak.
·         Mediator dapat memebrikan usaha-usaha atau jasa-jasa lainnya, seperti bantuan dalam kesepakatan, bantuan keuangan, mengawasi pelaksanaan kesepakatan, dan lain-lain.
·         Apabila mediatornya adalah negara biasanya negara tersebut dapat menggunakan pengaruh dan kekuasaannya terhadap pada pihak yang bersengketa untuk mencapai penyelesaian sengketanya.
·         Negera sebagai mediator biasanya memiliki fasilitas teknis yang lebih memadai dari pada orang per orangan.
Sedangkan segi negatifnya dari mediasi adalah mediator yang dapat saja dalam melaksanakan fungsinya lebih memperhatikan pihak lain.[8]

3.      Penyelidikan
Penyelidikan sebagai istilah seni, digunakan dalam dua arti, tapi mempeunyai pengertian yang berkaitan. Dalam arti yang lebih luas penyelidikan menunjukkan pada proses yang dilakukan kapan saja pengadilan atau badan lain berupaya untuk menyekesaikan suatu masalah sengketa tentang fakta. Karena sebagaian besar sengketa internasional menimbulkan persoalan seperti ini, bahkan juga jika ada masalah hukum atau politik, adalah jelas bahwa penyelidikan dalam pengertian ini sering akan menjadi komponen utama dari arbitrasi, konsiliasi, tindakan akan organisasi internasional dan cara penyelesaian lain oleh pihak ketiga.[9]

4.      Konsiliasi
Konsiliasi adalah suatu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional mengenai keadaan apapun dimana suatu komisi yang dibentuk oleh pihak-pihak, baik yang bersifat tetap atau  ad hoc untuk menangani suatu sengketa, berada pada pemerikasaan yang tidak memihak atas sengketa tersebut dan berusaha untuk menentukan batas penyelesaian yang dapat diterima pihak-pihak atau memberi pihak-pihak, pandangan untuk menyelesaikannya, seperti bantuan yang mereka pinta.[10]
Penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi juga melibatkan pihak ketiga( kosiliator) yang tidak berpihak atau netral dan keterlibatannya karena diminta oleh para pihak. Menurut Bindschedler, unsur ketidakberpihakan dan kenetralan merupakan kata kunci untuk keberhasilan fungsi koalisi. Hanya dengan terpenuhinya dua unsur ini objektivitas dari koalisi dapat tercapai.
Badan konsiliasi bisa yang sudah melembaga atau bersifat sementara. Proses seperti ini berupaya mendamaikan pandanagn-pandangan para pihak yang bersengketa meskipun usulan-usulan penyelesaian yang dibuat oleh konsiliator tidak mempunyai kekuatan hukum. The huague konvention for the pacific settlement of international thisspace of 1899 dan 1807 memuat mekanisme dan aturan pembentukan komisi konsiliasi. Badan seperti ini hanya bisa di bentuk dengan perstujuan bersama para pihak. Pada umumnya badan ini di beri mandat untuk mencari dan melaporkan fakta-fakta yang ada di sekitar pokok sengketa. Perkembangan penting dalam penyelesaian melalui konsiliasi ini di tandai dengan di tanda tanganinya perjanjian antara Perancis dab Swiss 1925. Dari isi perjanjian itu tampak ada beberapa fungsi dari badab konsiliasi, yaitu:
·         menganalisis sengketa, mengumpulkan keterangan mengenai pokok perkara, dan berupaya mendamaikan para pihak.
·         Membuat laporan mengenai hasil upaya nya dalam mendamaikan para pihak
·         Menetapkan atau membatasi jangka waktu dalam menjalankan tugas nya.[11]

5.      Arbitrasi
Perkataan Arbitrase berasl dari arbitrare ( bahasa latin ) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.[12] Secara sederhana arbitrasi merupakan istilah yang dipakai untuk menjabarkan suatu bentuk tata cara bagaimana untuk menyelesaikan sengketa yang timbul, sehingga mencapai suatu hasil tertentu yang secara hukum final dan mengikat. Prasyarat yang utama bagi suatu proses arbitrasi yaitu kewajiban pada para pihak membuat sjuatu kesepakatan tertulis atau perjanjian arbitrasi, dan kemudian menyepakati hukumdan tata cara bagaimana mereka akan mengakhiri penyelesaian sengketanya.

Ø  Unsur-Unsur Arbitrasi
Unsur-unsur arbitasi terbagi sebagai berikut :
·         Cara penyelesaian sengketa secara privat atau diluar pengadilan
·         Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak
·         Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi
·         Dengan melibatkan pihak ketiga yang berwenang mengambil keputusan
·         Sifat utusannya final dan mengikat[13]

C.    Studi Kasus
Nicaragua case merupakan kasus yang ditangani oleh Mahkamah Internasional pada tahun 1986 antara Nikaragua dengan Amerika Serikat dimana Mahkamah Internasional mengabulkan gugatan Nikaragua serta memberikan reparasi kepada Nikaragua. Kasus berawal dari adanya suatu masalah pemerintahan dalam negeri yang terjadi di Nikaragua. Amerika Serikat kemudian justru mulai terlibat secara aktif dalam permasalahan intern dari negara tersebut.  Namun Nikaragua menganggap bahwa campur tangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat tersebut memperburuk keadaan sehingga Nikaragua merasa bahwa Amerika Serikat telah melakukan beberapa tindakan yang bertentangan dengan kaidah hukum internasional.
Beberapa tindakan yang dilakukan oleh Amerika Serikat adalah penanaman ranjau di laut wilayah dan laut pedalaman Nikaragua sehingga hancurnya kapal-kapal yang berada di laut tersebut. Amerika Serikat juga melakukan perusakan terhadap beberapa fasilitas sipil dan militer Nikaragua, serta membantu para gerilyawan yang ingin menggulingkan pemerintahan Sandinista yang berkuasa di masa itu. Yang menjadi alasan utama Amerika Serikat untuk melegalkan kehadirannya tersebut adalah besarnya campur tangan yang pernah dilakukan oleh Nikaragua terhadap urusan dalam negeri negara tetangganya. Namun Nikaragua menolak secara tegas atas tuduhan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan justru menyatakan bahwa kehadiran Amerika Serikat-lah yang sesungguhnya merupakan suatu bentuk intervensi militer besar-besaran yang sangat berbahaya.
Situasi inilah yang membawa Nikaragua menempuh beberapa prosedur penyelesaian sengketa internasional untuk menuntut serta meminta ganti kerugian pada Amerika Serikat sesuai dengan cara yang tertera pada Pasal 33 ayat (1) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada akhirnya Nikaragua memutuskan untuk mengajukan sengketa ke Mahkamah Internasional.
Beberapa mekanisme penyelesaian telah ditempuh oleh Nikaragua untuk mencari
jalan keluar. Pada tahun 1982 Nikaragua menempuh konsiliasi dan mediasi. Setahun kemudian diselenggarakanlah pertemuan negara-negara di Amerika Tengah atas inisiatif Contadora Group sehingga berhasil disusun sebuah draft agreement berjudul “Contadora Act on Peace and Co-Operation in Central America”.  Dari tahun 1984 sampai dengan 1986 Dewan Keamanan terus aktif mengadakan pertemuan terkait dengan protes yang dilakukan oleh Nikaragua, begitu pula yang dilakukan oleh Majelis Umum, Sekjen PBB, Sekjen Organisasi Negara Amerika Tengah, dan negara-negara grup Contadora. Ketidakberhasilan dari segala upaya ini menyebabkan Nikaragua memutuskan untuk mengajukan permohonan penyelesaian sengketanya ke Mahkamah Internasional pada tahun 1986. Sengketa ini diproses oleh Mahkamah berdasarkan yurisdiksinya sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional bahwa Mahkamah berwenang untuk menangani semua perkara yang diajukan terutama yang ditentukan dalam Piagam PBB. Dalam tuntutannya Nikaragua menyatakan beberapa hal yaitu, Amerika Serikat telah melanggar kewajiban dalam hukum internasional bahkan tetap melanjutkan pelanggarannya, menyatakan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh Amerika Serikat telah mengakibatkan kerugian pada pihak Nikaragua, serta mewajibkan Amerika Serikat untuk membayar ganti kerugian sejumlah U$ 370.200.000. Dalam proses ini, Amerika Serikat menyatakan bahwa Mahkamah tidak memiliki yurisdiksi dalam hal ini karena Nikaragua tidak pernah tercatat meratifikasi “Protocol of the Statuta Permanent Court of International Justice”, yaitu bagian pendahuluan Mahkamah yang mengatur masalah yurisdiksi Mahkamah. Namun Mahkamah menemukan bahwa Nikaragua telah menyatakan diri terikat pada yurisdiksi Mahkamah (Nicaragua’s 1929 Declaration) dan telah menjadi anggota Statuta yang baru sehingga memiliki yurisdiksi sesuai dengan Pasal 36 statuta. Sebagai hasilnya, pada tahun 1986 Mahkamah memberikan keputusan terhadap sengketa ini bahwa Amerika Serikat telah melanggar hukum internasional terutama pada Nikaragua sehingga wajib memberikan ganti rugi. Namun Amerika Serikat tetap kokoh pada penolakannya sehingga Nikaragua tidak mendapat ganti rugi apapun.[14]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam sengketa internasional dapat diselesaikan dengan beberapa cara yaitu seperti negosiasi, mediasi, penyelidikan, konsiliasi, dan arbitrasi. Negosiasi merupakan cara para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya dan setiap penyelesaiannya didasarkan kesepakatan atau consensus para pihak. apabila para pihak telah menyerahkan sengketanya kepada suatu badan peradilan tertentu, proses penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini masih di mungkin untuk dilaksanakan. Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Pihak ketiga tersebut disebut dengan mediator. Mediator dapat merupakan negara, organisasi internasional atau individu. Mediator ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi. Penyelidikan adalah proses yang dilakukan kapan saja pengadilan atau badan lain berupaya untuk menyelsaikan maslah sengketa tentang fakta. Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa yang sifatnya lebih formal dibanding mediasi. Konsiliasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh suatu komisi yang dibentuk oleh para pihak. Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral yang mengeluarkan putusan bersifat final dan mengikat (binding). Badan arbitrase dewasa ini sudah semakin popular dan semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa internasional.

B.     Saran
Secara pribadi maupun sebagai masyarakat internasioan; haruslah dapat memberikan kontribusi secara aktif dan perdamaian dunia. Sikap positif ini harus dapat kita tunjukkan apabila kita sebagai negara berdaulat terlibat suatu sengketa dengan negara lain diserahkan  kepada Mahkamah Internasional. Namun demikian, lebih jauh kita berharap agar jangan sampai ada persengketaan.
Semoga makalah ini dapat diterima oleh semua pihak. Kami sebagai penyusun mengaharapkan kepada pembaca supaya dapat mengkritik mekalah ini untuk tujuan membangun bagi kebaikan menadatang. Karena kami yakin masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat baik untuk penyusun maupun pembaca.


DAFTAR PUSTAKA

Buku :
·         Adolf Huala. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta : Sinar Grafika
·         Merrilis J.G. 1996. Penyelesaian Sengketa Internasional. Bandung : Tarsito
·         Winarta Hendra Frans. 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa. Jakarta : Sinar Grafika
·         Nugroho Adi Susanti. 2015. Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya. Jakarta : Prenadamedia Group.

Web :


[3] Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), hlm.9.
[4] Dikutip dari https://wisuda.unod.ac.id/pdf/0903005193-3-BAB%2011.pdf diakses tanggal 1 November 2017 pukul 14:00 WIB.
[5] Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional ( Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hlm. 26-27.
[6] J.G. Merrilis, Penyelesaian Sengketa Internasional ( Bandung : Tarsito, 1996 ), hal. 6-15
[7] Ibid, hlm. 21
[8] Huala Adolf, op chit, hlm. 34.
[9] J.G Marrillis, op chit, hlm. 35
[10] Ibid, hlm.54
[11] Huala Adolf, op chit, hlm. 35-36
[12] Frans Hendra Winarta, op chit, hlm. 36
[13] Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya ( Jakarta : Prenadamedia Group, 2015), hlm. 77-80

UP Alert (http://ebenzezher-ebenzezher.blogspot.com)

Hola, Su sitio web: http://ebenzezher-ebenzezher.blogspot.com (HTTP(s)) se encuentra Online nuevamente (Estuvo Offline 2y ...