Showing posts with label Materi Kewarganegaraan. Show all posts
Showing posts with label Materi Kewarganegaraan. Show all posts

Wednesday, January 10, 2018

HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL
Oleh : Eben Ezher Pakpahan, Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Riau



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Konflik atau sengketa adalah istilah-istilah yang sering ditemukan atau di dengar dalam kehidupan sehari-hari. Konflik atau sengketa bisa saja terjadi dikarenakan hal yang sepele, misalnya konflik antar tetangga yang mempermasalahkan batas tanah, sengketa pelanggaran perjanjian atau kontrak. Akan tetapi setiap orang sudah pasti tidak menginginkan suatu konflik atau sengketa terjadi di dalam kehidupannya.
Sebuah konflik, yakni sebuah situasi di mana dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keprihatinannya. Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain.[1]
 Permasalahan di dalam hubungan Internasional merupakan hal yang tidak dapat dihindari oleh setiap negara. Hal ini menyangkut hubungan antara negara dalam mempertahankan kedaulatan maupun kepentingan masing-masing, sehingga timbul suatu perselisihan internasional akibat dari interaksi yang dilakukan antar negara. Penyebab dari sengketa dapat terjadi akibat berbagai macam permasalahan seperti faktor politik, ekonomi, sosial, bahkan budaya. Hal ini bisa saja menimbulkan suatu permasalahan besar berupa sengketa yang melibatkan berbagai negara maupun organisasi internasional.
Upaya-upaya penyelesaian terhadap sengketa internasional telah menjadi perhatian yang cukup penting di masyarakat internasional sejak awal abad ke-20. Upaya-upaya ini ditunjukan untuk menciptakan hubungan antarnegara yang lebih baik berdasarkan prinsip perdamaian dan keamanan internasional.2 Peran hukum internasional dalam penyelesaian sengketa internasional adalah memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum internasional. Dalam perkembangan awalnya, hukum internasional mengenal 2 cara penyelesaian, yaitu cara penyelesaian secara damai dan perang (militer).3 Cara perang untuk menyelesaikan sengketa merupakan cara yang telah diakui dan dipraktikan sejak lama. Bahkan perang telah juga dijadikan sebagai alat atau instrumen dan kebijakan luar negeri. Sebagai contoh Napoleon Bonaparte menggunakan perang untuk menguasai wilayah-wilayah di Eropa di abad XIX[2]
Proses penyelesaian sengketa yang sudah dikenal sejak lama adalah melaui proses litigasi di pengadilan. Proses litigasi cenderung menghasilkan masalah baru karena sifatnya yang win-lose, tidak responsif, time consuming proses berperkaranya, dan terbuka untuk umum. Seiring dengan perkembangan zaman, proses penyelesaian sengketa diluar pengadilan pun ikut berkembang.
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan besifat tertutup untuk umum (close door session) dan kerahasian para pihak terjamin (confidentiality), proses beracara lebih cepat dan efisien. Proses penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini menghindari kelambatan yang diakibatkan prosedural dan administratif sebagi mana beracara di pengadilan umum dan win-win solution.[3]

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi dari sengketa internasional?
2.      Bagaimana penyelesaian sengketa dalam hukum internasional?
3.      Apa sajakah macam-macam dari bentuk penyelesaian sengketa internasional?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui definisi sengketa internasional
2.      Menjelaskan penyelesaian sengketa dalam hukum internasional
3.      Memaparkan macam-macam bentuk penyelesaian sengketa internasional


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sengketa Internasional
Sengketa internasional (International Dispute) adalah suatu perselisihan antara subjek-subjek hukum internasional mengenai fakta, hukum atau politik dimana tuntutan atau pernyataan satu pihak ditolak, dituntut balik atau diingkari oleh pihak lainnya.2Sengketa internasional terjadi apabila perselisihan tersebut melibatkan pemerintah, lembaga juristic person (badan hukum) atau individu dalam bagian dunia yang berlainan terjadi karena:
1. Kesalahpahaman tentang suatu hal
2. Salah satu pihak sengaja melanggar hak / kepentingan negara lain
3. Dua negara berselisih pendirian tentang suatu hal
4. Pelanggaran hukum / perjanjian internasional

Dalam studi hukum internasional publik, dikenal dua macam sengketa internasional, yaitu sengketa hukum (legal or judicial disputes) dan sengketa politik (political or nonjusticiable disputes). Dalam praktiknya tidak terdapat kriteria pembedaan jelas yang dapat digunakan untuk membedakan antara sengketa hukum dan sengketa politik. Meskipun sulit untuk membuat perbedaan tegas antara istilah sengketa hukum dan sengketa politik, namun para ahli memberikan penjelasan mengenai cara membedakan sengketa hukum dan sengketa politik.
Menurut Friedmann, meskipun sulit untuk membedakan kedua pengertian tersebut, namun perbedaannya dapat terlihat pada konsepsi sengketanya. Konsepsi sengketa hukum memuat hal-hal berikut:
a. Sengketa hukum adalah perselisihan antar negara yang mampu diselesaikan oleh pengadilan dengan menerapkan aturan hukum yang telah ada dan pasti.
b. Sengketa hukum adalah sengketa yang sifatnya memengaruhi kepentingan vital negara, seperti integritas wilayah, dan kehormatan atau kepentingan lainnya dari suatu negara.
c. Sengketa hukum adalah sengketa dimana penerapan hukum internasional yang ada cukup untuk menghasilkan putusan yang sesuai dengan keadilan antar negara dan perkembangan progresif hubungan internasional.
d. Sengketa hukum adalah sengketa yang berkaitan dengan persengketaan hak-hak hukum yang dilakukan melalui tuntutan yang menghendaki suatu perubahan atas suatu hukum yang telah ada.
Menurut Sir Humprey Waldock, penentuan suatu sengketa sebagai suatu sengketa hukum atau politik bergantung sepenuhnya kepada para pihak yang bersangkutan. Jika para pihak menentukan sengketanya sebagai sengketa hukum maka sengketa tersebut adalah sengketa hukum. Sebaliknya, jika sengketa tersebut menurut para pihak membutuhkan patokan tertentu yang tidak ada dalam hukum internasional, misalnya soal pelucutan senjata maka sengketa tersebut adalah sengketa politik.
Sedangkan Menurut Oppenheim dan Kelsen, tidak ada pembenaran ilmiah serta tidak ada dasar kriteria objektif yang mendasari perbedaan antara sengketa politik dan hukum. Menurut mereka, setiap sengketa memiliki aspek politis dan hukumnya. Sengketa tersebut biasanya terkait antar negara yang berdaulat. Oppenheim dan Hans Kelsen menguraikan pendapatnya tersebut sebagai berikut:
“All disputes have their political aspect by the very fact that they concern relations between sovereign states. Disputes which, according to the distinction, are said to be of a legal nature might involve highly important political interests of the states concerned; conversely, disputes reputed according to that distinction to be a political character more often than not concern the application of a principle or a norm of international law.”
Huala Adolf mengeluarkan pendapat yang sama. Menurut beliau, jika timbul sengketa antara dua negara, bentuk atau jenis sengketa yang bersangkutan ditentukan sepenuhnya oleh para pihak. Bagaimana kedua negara memandang sengketa tersebut menjadi faktor penentu apakah sengketa yang terjadi merupakan sengketa hukum atau politik.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pembedaan jenis sengketa hukum dan politik internasional dapat dilakukan. Pembedaan dapat dilakukan dengan melihat sumber sengketa dan bagaimana cara sengketa tersebut diselesaikan, apabila sengketa terjadi karena pelanggaran terhadap hukum internasional maka sengketa tersebut menjadi sengketa hukum, selain pelanggaran terhadap hukum internasional sengketa dapat terjadi akibat adanya benturan kepentingan yang melibatkan lebih dari satu negara, sengketa yang melibatkan kepentingan inilah yang dimaksud sengketa politik.[4]


B.     Penyelesaian Sengketa Internasional
1.      Negosiasi
Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling penting dan banya ditempuh, serta efektif dalam penyelesaian sengketa internasional. Praktik negara-negara menunjukkan bahwa mereka lebih cenderung untuk menggunakan sarana negosiasi sebagai langkah awal untuk penyelesaian sengketanya. Beberapa penulis membedakan negosiasi dengan konsultasi. Joe Diaconu, antara lain menyatakan bahwa konsultasi adalah bentuk lain dari negosiasi yang sifatnya lebih sederhana, informal, dan langsung. Negosiasi ada perundingan yang diadakan secara langsung anatara pihak-pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa, masyarakat internasional telah menjadikan negosiasi ini sebagai langkah pertama dalam penyelesaian sengketa. Dialog tersebut biasanya lebih banyak diwarnai pertimbangan politisi dari pada pertimbangan atau arguman hukum. Namun demikian dalam proses negosiasi atau dialog tersebut ada kalanya argumen-argumen hukum cukup banyak berfungsi memperkuat kedudukan para pihak manakala proses ini berhasil, hasilnya biasanya dituangkan dalam sebuah dokumen yang memberinya kekuatan hukum. Misalnya hasil kesepakatan negosiasi yang dituangkan dalam suatu dokumen perjanjian perdamaian. Selanjutnya para pihak biasanya mensyaratkan, bahwa apabila cara ini gagal dalam jangka waktu tertentu, mereka sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa pada cara lain.
Segi positif dari negosiasi adalah sebagi berikut:
·         Para pihak sendiri yang melakukan perundingan atau negosiasi secara langsung dengan pihak lainnya.
·         Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana penyelesaian secara negosiasi ini dilakukan menurut kesepakatan mereka.
·         Para pihak mengawasi atau memantau secara langsung prosedur penyelesainnya.
·         Negosiasi menghindari perhatian publik dan tekanan politik didalam negeri.
·         Dalam negosiasi para pihak berupaya mencari penyelesaian yang dapat diterima dan memuaskan para pihak, sehingga tidak ada pihak yang menang ataupun kalah, tetapi diupayakan kedua belah pihak menang.
·         Negosiasi dimungkinkan dapat digunakan untuk setiap tahap penyelesaian sengketa dalam setiap bentuknya, baik itu negosiasi secara tertulis dan lisan, bilateral, dan lain-lain.


Segi negatif dari negosiasi :
·         Proses penyelesain demikian tidak memungkin kan fakta-fakta yang melingkupi suatu sengketa di tetapkan dengan objek.
·         Cara penyelesain seperti ini tidak dapat menyelesaikan sengketa tertentu atau dapat menjamin bahwa negosiasi akan menyelesaikan sengketa karena salh satu pihak dapat saja bersi keras dengan pendiriannya.
·         Tertutupnya keikutsertaan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa, proses ini apabila salah satu pihak berada dlam posisi yang lebih lemah. [5]

Ø  Bentuk Negosiasi
            Negosiasi antarnegara biasanya dilakukan melalui saluran ‘diplimatik normal’ yakni oleh masing-masing pejabat urusan luar negeri, atau oleh wakil-wakil diplomatik, yang dalam hal adanya negosiasi yang kompleks dapat membawa delegasi termasuk wakil-wakil dari beberapa departemen pemerintahan yang berkepentingan. Sebagai alternatif, jika pokok masalahnya sesuai, negosiasi dapat dilaksanakan oleh apa yang disebut ‘departemen yang berwenang’ masing-masing pihak, yaitu oleh wakil-wakil menteri atau departement tertentu yang bertanggung jawab atas masalah tersebut misalnya dalam hal persetujuan dagang dilakukan oleh departement perdagangan, atau pertahanan dalam masalah negosiasi persolaan jual beli senjata. Jika departement yang berwenang tersebut adalah badan-badan yang lebih rendah, maka departement tersebut dibeari kewenangan untuk melakukan negosiasi sejauh mungkin dan untuk menyerahkan perselisihan pada tingkat departement yang lebih tinggi.

Ø  Keterbatasan Negosiasi
            Negosiasi tidak akan efektif jika posisi pihak-pihak saling menjauh dan tidak ada kepentingan bersama untuk menjembatani jurang itu dalam suatu sengketa jika satu pihak menuntut atas pihaknya, berusaha mencari penyelesaian berdasarkan equity, ada sedikit kesempatan untuk diadakan persetujuan tentang masalah yang mendasar, dan bahkan persetujaun prosedural, untuk menyerahkan sengketa itu pada lembaga arbitrasi misalnya, mungkin sulit untuk mnegadakan negosiasi tanpa pura-pura untuk merugikan satu pihak atau pihak lain. [6]


2.      Mediasi
Bila pihak-pihak sengketa internasional tidak mampu menyelesaikan sengketa tersebut melalui negosiasi, dimungkinkan adanya campur tangan pihak ketiga yang akan menyelesaikan jalan buntu ini dan menghasilkan penyelesaian yang dapat diterima. Campur tangan seperti ini memiliki bentuk yang berbeda-beda. Pihak ketiga dengan mudah dapat membantu negara-negara yang bersengketa untuk melanjutkan negosiasi, atau melakukan hal yang tidak lebih dari memberi mereka saluran komunikasi tambahan. Dalam keadaan ini pihak ketiga itu dikatakan menyumbangkan jasa baiknya. Dipihak lain, tugasnya mungkin menyelidiki sengketa itu dan memberikan proposal formal pada pihak-pihak untuk menyelesaikannya. Bentuk campur tangan ini disebut konsiliasi. Antara bentuk jasa baik dan konsiliasi terdapat bentuk campur tangan pihak ketiga yang dikenal mediasi.[7]

Ø  Persetujuan untuk Mediasi
Dengan menerima mediasi, suatu pemerintah mengakui bahwa sengketanya merupakan masalah sengketa internasional yang sah. Oleh karena itu, jika yang menjadi pokok pertentangan adalah mengenai pertanggung jawaban internasional, sebagaimana dalam sengketa politik apartheid Afrika Selatan, maka tidak akan dibicarakan mediasi. Unsur-unsur yang dapat menyebabkan suatu pemerintah menerima mediasi dapat digambarkan dari sengketa-sengketa yang sudah dibahas.

Ø  Positif dan Negatif dari Mediasi
Menurut Bindschedler ada beberapa segi positif dari mediasi yaitu :
·         Mediator sebagai penengah dapat memberikan usulan-usulan kompromi diantara para pihak.
·         Mediator dapat memebrikan usaha-usaha atau jasa-jasa lainnya, seperti bantuan dalam kesepakatan, bantuan keuangan, mengawasi pelaksanaan kesepakatan, dan lain-lain.
·         Apabila mediatornya adalah negara biasanya negara tersebut dapat menggunakan pengaruh dan kekuasaannya terhadap pada pihak yang bersengketa untuk mencapai penyelesaian sengketanya.
·         Negera sebagai mediator biasanya memiliki fasilitas teknis yang lebih memadai dari pada orang per orangan.
Sedangkan segi negatifnya dari mediasi adalah mediator yang dapat saja dalam melaksanakan fungsinya lebih memperhatikan pihak lain.[8]

3.      Penyelidikan
Penyelidikan sebagai istilah seni, digunakan dalam dua arti, tapi mempeunyai pengertian yang berkaitan. Dalam arti yang lebih luas penyelidikan menunjukkan pada proses yang dilakukan kapan saja pengadilan atau badan lain berupaya untuk menyekesaikan suatu masalah sengketa tentang fakta. Karena sebagaian besar sengketa internasional menimbulkan persoalan seperti ini, bahkan juga jika ada masalah hukum atau politik, adalah jelas bahwa penyelidikan dalam pengertian ini sering akan menjadi komponen utama dari arbitrasi, konsiliasi, tindakan akan organisasi internasional dan cara penyelesaian lain oleh pihak ketiga.[9]

4.      Konsiliasi
Konsiliasi adalah suatu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional mengenai keadaan apapun dimana suatu komisi yang dibentuk oleh pihak-pihak, baik yang bersifat tetap atau  ad hoc untuk menangani suatu sengketa, berada pada pemerikasaan yang tidak memihak atas sengketa tersebut dan berusaha untuk menentukan batas penyelesaian yang dapat diterima pihak-pihak atau memberi pihak-pihak, pandangan untuk menyelesaikannya, seperti bantuan yang mereka pinta.[10]
Penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi juga melibatkan pihak ketiga( kosiliator) yang tidak berpihak atau netral dan keterlibatannya karena diminta oleh para pihak. Menurut Bindschedler, unsur ketidakberpihakan dan kenetralan merupakan kata kunci untuk keberhasilan fungsi koalisi. Hanya dengan terpenuhinya dua unsur ini objektivitas dari koalisi dapat tercapai.
Badan konsiliasi bisa yang sudah melembaga atau bersifat sementara. Proses seperti ini berupaya mendamaikan pandanagn-pandangan para pihak yang bersengketa meskipun usulan-usulan penyelesaian yang dibuat oleh konsiliator tidak mempunyai kekuatan hukum. The huague konvention for the pacific settlement of international thisspace of 1899 dan 1807 memuat mekanisme dan aturan pembentukan komisi konsiliasi. Badan seperti ini hanya bisa di bentuk dengan perstujuan bersama para pihak. Pada umumnya badan ini di beri mandat untuk mencari dan melaporkan fakta-fakta yang ada di sekitar pokok sengketa. Perkembangan penting dalam penyelesaian melalui konsiliasi ini di tandai dengan di tanda tanganinya perjanjian antara Perancis dab Swiss 1925. Dari isi perjanjian itu tampak ada beberapa fungsi dari badab konsiliasi, yaitu:
·         menganalisis sengketa, mengumpulkan keterangan mengenai pokok perkara, dan berupaya mendamaikan para pihak.
·         Membuat laporan mengenai hasil upaya nya dalam mendamaikan para pihak
·         Menetapkan atau membatasi jangka waktu dalam menjalankan tugas nya.[11]

5.      Arbitrasi
Perkataan Arbitrase berasl dari arbitrare ( bahasa latin ) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.[12] Secara sederhana arbitrasi merupakan istilah yang dipakai untuk menjabarkan suatu bentuk tata cara bagaimana untuk menyelesaikan sengketa yang timbul, sehingga mencapai suatu hasil tertentu yang secara hukum final dan mengikat. Prasyarat yang utama bagi suatu proses arbitrasi yaitu kewajiban pada para pihak membuat sjuatu kesepakatan tertulis atau perjanjian arbitrasi, dan kemudian menyepakati hukumdan tata cara bagaimana mereka akan mengakhiri penyelesaian sengketanya.

Ø  Unsur-Unsur Arbitrasi
Unsur-unsur arbitasi terbagi sebagai berikut :
·         Cara penyelesaian sengketa secara privat atau diluar pengadilan
·         Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak
·         Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi
·         Dengan melibatkan pihak ketiga yang berwenang mengambil keputusan
·         Sifat utusannya final dan mengikat[13]

C.    Studi Kasus
Nicaragua case merupakan kasus yang ditangani oleh Mahkamah Internasional pada tahun 1986 antara Nikaragua dengan Amerika Serikat dimana Mahkamah Internasional mengabulkan gugatan Nikaragua serta memberikan reparasi kepada Nikaragua. Kasus berawal dari adanya suatu masalah pemerintahan dalam negeri yang terjadi di Nikaragua. Amerika Serikat kemudian justru mulai terlibat secara aktif dalam permasalahan intern dari negara tersebut.  Namun Nikaragua menganggap bahwa campur tangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat tersebut memperburuk keadaan sehingga Nikaragua merasa bahwa Amerika Serikat telah melakukan beberapa tindakan yang bertentangan dengan kaidah hukum internasional.
Beberapa tindakan yang dilakukan oleh Amerika Serikat adalah penanaman ranjau di laut wilayah dan laut pedalaman Nikaragua sehingga hancurnya kapal-kapal yang berada di laut tersebut. Amerika Serikat juga melakukan perusakan terhadap beberapa fasilitas sipil dan militer Nikaragua, serta membantu para gerilyawan yang ingin menggulingkan pemerintahan Sandinista yang berkuasa di masa itu. Yang menjadi alasan utama Amerika Serikat untuk melegalkan kehadirannya tersebut adalah besarnya campur tangan yang pernah dilakukan oleh Nikaragua terhadap urusan dalam negeri negara tetangganya. Namun Nikaragua menolak secara tegas atas tuduhan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan justru menyatakan bahwa kehadiran Amerika Serikat-lah yang sesungguhnya merupakan suatu bentuk intervensi militer besar-besaran yang sangat berbahaya.
Situasi inilah yang membawa Nikaragua menempuh beberapa prosedur penyelesaian sengketa internasional untuk menuntut serta meminta ganti kerugian pada Amerika Serikat sesuai dengan cara yang tertera pada Pasal 33 ayat (1) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada akhirnya Nikaragua memutuskan untuk mengajukan sengketa ke Mahkamah Internasional.
Beberapa mekanisme penyelesaian telah ditempuh oleh Nikaragua untuk mencari
jalan keluar. Pada tahun 1982 Nikaragua menempuh konsiliasi dan mediasi. Setahun kemudian diselenggarakanlah pertemuan negara-negara di Amerika Tengah atas inisiatif Contadora Group sehingga berhasil disusun sebuah draft agreement berjudul “Contadora Act on Peace and Co-Operation in Central America”.  Dari tahun 1984 sampai dengan 1986 Dewan Keamanan terus aktif mengadakan pertemuan terkait dengan protes yang dilakukan oleh Nikaragua, begitu pula yang dilakukan oleh Majelis Umum, Sekjen PBB, Sekjen Organisasi Negara Amerika Tengah, dan negara-negara grup Contadora. Ketidakberhasilan dari segala upaya ini menyebabkan Nikaragua memutuskan untuk mengajukan permohonan penyelesaian sengketanya ke Mahkamah Internasional pada tahun 1986. Sengketa ini diproses oleh Mahkamah berdasarkan yurisdiksinya sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional bahwa Mahkamah berwenang untuk menangani semua perkara yang diajukan terutama yang ditentukan dalam Piagam PBB. Dalam tuntutannya Nikaragua menyatakan beberapa hal yaitu, Amerika Serikat telah melanggar kewajiban dalam hukum internasional bahkan tetap melanjutkan pelanggarannya, menyatakan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh Amerika Serikat telah mengakibatkan kerugian pada pihak Nikaragua, serta mewajibkan Amerika Serikat untuk membayar ganti kerugian sejumlah U$ 370.200.000. Dalam proses ini, Amerika Serikat menyatakan bahwa Mahkamah tidak memiliki yurisdiksi dalam hal ini karena Nikaragua tidak pernah tercatat meratifikasi “Protocol of the Statuta Permanent Court of International Justice”, yaitu bagian pendahuluan Mahkamah yang mengatur masalah yurisdiksi Mahkamah. Namun Mahkamah menemukan bahwa Nikaragua telah menyatakan diri terikat pada yurisdiksi Mahkamah (Nicaragua’s 1929 Declaration) dan telah menjadi anggota Statuta yang baru sehingga memiliki yurisdiksi sesuai dengan Pasal 36 statuta. Sebagai hasilnya, pada tahun 1986 Mahkamah memberikan keputusan terhadap sengketa ini bahwa Amerika Serikat telah melanggar hukum internasional terutama pada Nikaragua sehingga wajib memberikan ganti rugi. Namun Amerika Serikat tetap kokoh pada penolakannya sehingga Nikaragua tidak mendapat ganti rugi apapun.[14]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam sengketa internasional dapat diselesaikan dengan beberapa cara yaitu seperti negosiasi, mediasi, penyelidikan, konsiliasi, dan arbitrasi. Negosiasi merupakan cara para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya dan setiap penyelesaiannya didasarkan kesepakatan atau consensus para pihak. apabila para pihak telah menyerahkan sengketanya kepada suatu badan peradilan tertentu, proses penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini masih di mungkin untuk dilaksanakan. Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Pihak ketiga tersebut disebut dengan mediator. Mediator dapat merupakan negara, organisasi internasional atau individu. Mediator ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi. Penyelidikan adalah proses yang dilakukan kapan saja pengadilan atau badan lain berupaya untuk menyelsaikan maslah sengketa tentang fakta. Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa yang sifatnya lebih formal dibanding mediasi. Konsiliasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh suatu komisi yang dibentuk oleh para pihak. Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral yang mengeluarkan putusan bersifat final dan mengikat (binding). Badan arbitrase dewasa ini sudah semakin popular dan semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa internasional.

B.     Saran
Secara pribadi maupun sebagai masyarakat internasioan; haruslah dapat memberikan kontribusi secara aktif dan perdamaian dunia. Sikap positif ini harus dapat kita tunjukkan apabila kita sebagai negara berdaulat terlibat suatu sengketa dengan negara lain diserahkan  kepada Mahkamah Internasional. Namun demikian, lebih jauh kita berharap agar jangan sampai ada persengketaan.
Semoga makalah ini dapat diterima oleh semua pihak. Kami sebagai penyusun mengaharapkan kepada pembaca supaya dapat mengkritik mekalah ini untuk tujuan membangun bagi kebaikan menadatang. Karena kami yakin masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat baik untuk penyusun maupun pembaca.


DAFTAR PUSTAKA

Buku :
·         Adolf Huala. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta : Sinar Grafika
·         Merrilis J.G. 1996. Penyelesaian Sengketa Internasional. Bandung : Tarsito
·         Winarta Hendra Frans. 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa. Jakarta : Sinar Grafika
·         Nugroho Adi Susanti. 2015. Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya. Jakarta : Prenadamedia Group.

Web :


[3] Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), hlm.9.
[4] Dikutip dari https://wisuda.unod.ac.id/pdf/0903005193-3-BAB%2011.pdf diakses tanggal 1 November 2017 pukul 14:00 WIB.
[5] Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional ( Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hlm. 26-27.
[6] J.G. Merrilis, Penyelesaian Sengketa Internasional ( Bandung : Tarsito, 1996 ), hal. 6-15
[7] Ibid, hlm. 21
[8] Huala Adolf, op chit, hlm. 34.
[9] J.G Marrillis, op chit, hlm. 35
[10] Ibid, hlm.54
[11] Huala Adolf, op chit, hlm. 35-36
[12] Frans Hendra Winarta, op chit, hlm. 36
[13] Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya ( Jakarta : Prenadamedia Group, 2015), hlm. 77-80

HAKIKAT, INSTRUMENTASI, DAN PRAKSIS DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKAN PANCASILA DAN UUD 1945

HAKIKAT, INSTRUMENTASI, DAN PRAKSIS DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKAN PANCASILA DAN UUD 1945
Oleh : Eben Ezher Pakpahan, Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Riau

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Prof. Mr. Muhamad Yamin mengemukakan bahwa demokrasi merupakan suatu dasar dalam pembentukan pemerintahan dan yang ada didalamnya (masyarakat) dalam kekuasaan mengatur dan memerintah dikendalikan secara sah oleh seluruh anggota masyarakat.
Kita mengenal bermacam-macam istilah demokrasi. Ada yang dinamakan demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, demokrasi rakyat, Demokrasi Soviet, demokrasi nasional, dan sebagainya. Semua konsep ini memakai istilah demokrasi yang menurut asal kata ‘rakyat berkuasa’ atau government by the people (kata Yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa).[1]
Setiap warga negara mendambakan pemerintahan demokratis yang menjamin tegaknya kedaulatan rakyat. Hasrat ini dilandasi pemikiran bahwa adanya peluang bagi tumbuhnya prinsip menghargai keberadaan individu untuk berpartisipasi dalam kehidupan bernegara secara maksimal.
Setiap negara mempunyai ciri khas dalam pelaksanaan  kedaulatan rakyat atau demokrasinya. Hal ini ditentukan oleh sejarah negara yang bersangkutan, kebudayaan, pandangan hidup, serta tujuan yang ingin dicapainya. Dengan demikian pada setiap negara terdapat corak khas yang tercermin pada pola sikap, keyakinan dan perasaan tertentu yang mendasari, mengarahkan, dan memberi arti pada tingkah laku dan proses berdemokrasi dalam suatu sistem politik.[2]
Begitu pula dengan Indonesia, Indonesia memiliki landasan atau acuan tersendiri dalam proses demokrasi nya, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Penjabaran demokrasi dalam ketatanegaraan Indonesia dapat ditemukan dalam konsep demokrasi sebagaimana terdapat dalam UUD 1945 sebagai “staatsyfundamentalnorm” yaitu “...Suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat...” (ayat 2), selanjutnya didalam Romawi III dijelaskan “Kedaulatan Rakyat...” [3]
Pancasila bukan hanya suatu daftar nilai tradisional. Melainkan Pancasila memuat lima unsur             etika pasca-tradisional sedunia yang paling fundamental: kebebasan beragama; hormat tanpa kompromi terhadap hak-hak asasi manusia; kebangsaan yang mempersatukan dalam sinergi pembangunan; semangat kerakyatan yang tak lain adalah demokrasi; serta keadilan sosial. Hal inilah yang menjadi corak khas dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia, yaitu Demokrasi Pancasila.[4]

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana konsep dan urgensi demokrasi yang bersumber dari Pancasila?
2.       Mengapa diperlukan demokrasi yang bersumber dari Pancasila?
3.      Bagaimana sumber historis, sosiologis, dan politik tentang demokrasi?
4.      Bagaimana membangun argumen tentang dinamika dan tantangan demokrasi yang bersumber dari Pacasila?
5.      Bagaimana deskripsi esensi dan urgensi demokrasi Pancasila?
6.      Bagaimana studi kasus mengenai Demokrasi Pancasila di Indonesia?

C.    Tujuan

1.      Pembaca memahami konsep dan urgensi demokrasi yang bersumber dari Pancasila
2.      Pembaca memahami perlunya demokrasi yang bersumber dari Pancasila
3.      Pembaca memahami sumber historis, sosiologis, dan politik tentang demokrasi
4.      Pembaca memahami argumen tentang dinamika dan tantangan demokrasi yang bersumber dari Pacasila
5.      Pembaca memahami deskripsi esensi dan urgensi Demokrasi Pancasila
6.      Pembaca mengetahui bagaimana studi kasus Demokrasi Pancasila di Indonesia


BAB II

PEMBAHASAN


A.    Konsep dan Urgensi Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila

1.      Pengertian Demokrasi
Secara etimologis demokrasi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu “demos” dan ”kratein”. Dalam “The Advanced Learne’s Dictionary of Current English” (Hornby dkk, 1998) dikemukakan bahwa kata demokrasi merujuk pada konsep kehidupan negara atau masyarakat dimana warga negara dewasa turut berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang dipilih.
Karena “people” yang menjadi pusatnya, demokrasi oleh Pabottinggi (2002) disikapi sebagai pemerintahan yang memiliki otosentrisitas yakni rakyatlah (people) yang harus menjadi kriteria dasar demokrasi.
Sementara itu CICED (1999) mengadopsi konsep demokrasi sebagai berikut :
“Democracy which is conceptually perceived a frame of thought of having the public governance from the people, by the people, has been universally accepted as paramount ideal, norm, social system, as well as individual knowledge, attitudes, and behavior needed to be contextually substantiated, cherished, and developed”.
Apa yang dikemukakan oleh CICED (1999) tersebut melihat demokrasi sebagai konsep yang bersifat multidimensional, yakni secara filosofis demokrasi sebagai ide, norma, dan prinsip; secara sosiologis sebagai system social; dan secara psikologis sebagai wawasan, sikap, dan perilaku individu dalam hidup bermasyarakat.
Sebagai suatu sistem sosial kenegaraan, USIS (1995) mengintisarikan demokrasi sebagai sistem memliki sebelas pilar atau soko guru, yakni “Kedaulatan Rakyat, Pemerintahan Berdasarkan Persetujuan dari yang Diperintah, Kekuasaan Mayoritas, Hak-hak Minoritas, Jaminan Hak-hak Asasi Manusia, Pemilihan yang Bebas dan Jujur, Persamaan di depan Hukum, Proses Hukum yang Wajar, Pembatasan Pemerintahan secara Konstitusional, Pluralisme Sosial, Ekonomi dan Politik, dan Nilai-nilai Toleransi, Pragmatisme, Kerja Sama dan Mufakat.”
Di lain pihak Sanusi (2006) mengidentifikasikan adanya seupuluh pilar demokrasi konstitusional menurut UUD 1945, yakin: “Demokrasi yang Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, Demokrasi dengan Kecerdasan, Demokrasi yang Berkedaulatan Rakyat, Demokrasi dengan “Rule of Law”, Demokrasi dengan Pembagian Kekuasaan Negara, Demokrasi dengan Hak Asasi Manusia, Demokrasi dengan Pengadilan yang Merdeka, Demokrasi dengan Otonomi Daerah, Demokrasi dengan Kemakmuran, dan Demokrasi yang Berkeadilan Sosial.”
2.      Tiga Tradisi Pemikiran Politik Demokrasi
Secara konseptual, seperti yang dikemukakan oleh Carlos Alberto Torres (1998) demokrasi dapat dilihat dari tiga tradisi pemikiran politik, yakni “classical Aristotelian theory, medieval theory, contemporary doctrine”. Dalam tradisi pemikirian Aristotelian demokrasi merupakan salah satu bentuk pemerintahan, yakni pemerintahan oleh seluruh warga negaranya yang memenuhi syarat kewarganegaraan. Sementara itu dalam tradisi “medieval theory” yang pada dasarnya menerapkan “Roman law” dan konsep “popular souvereignity” menempatkan suatu landasan pelaksanaan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Sedangkan dalam “contemporary doctrine of democracy”, konsep “republican” dipandang sebagai bentuk pemerintahan rakyat yang murni.
Lebih lanjut, Torres (1998) memandang demokrasi dapat ditinjau dari dua aspek yakni, “formal democracy” dan “substantive democracy”. Formal democracy menunjuk pada demokrasi dalam arti pemerintahan. Substantive democracy menunjuk pada bagaimana proses demokrasi itu dilakukan. Proses itu dapat diindentifikasi dalam empat bentuk demokrasi. Pertama, konsep “protective democracy” yang menunjuk pada perumusan Jeremy Bentham dan James Mill ditandai oleh “… the hegemony of market economy”, atau kekuasaan ekonomi pasar. Kedua, “developmental democracy” yang ditandai oleh konsepsi “… the model of man as possessive individualist” atau model manusia sebagai individu yang posesif. Ketiga, “equilibrium democracy” atau “pluralist democracy” yang dikembangkan oleh Joseph Schumpeter yang berpandangan perlunya penyeimbangan nilai partisipasi dan pentingnya apatisme. Keempat, “participatory democracy” yang diteorikan oleh C.B Machperson yang dibangun dari pemikiran paradoks dari JJ. Rousseau yang menyatakan bahwa kita tidak dapat mencapai partisipasi yang demokratis tanpa perubahan lebih dulu dalam ketakseimbangan sosial dan kesadaran sosial. Seperti dikutip dari pandangan Mansbridge dalam “Participation and Democratic Theory” (Torres,1998) dikatakan bahwa fungsi utama dati partisipasi dalam pandangan teori demokrasi partisipatif adalah bersifat edukatif dalam arti yang sangat luas. Hal itu dinilai sngat penting karena seperti diyakini oleh Pateman dalam Torres (1998) bahwa pengalaman dalam partisipasi demokrasi akan  mampu mengembangkan dan memantapkan kepribadian yang demokratis. Oleh karena itu, peranan Negara demokratis harus dilihat dari dua sisi (Torres, 1998;149) yakni demokrasi sebagai “method and content”.
3.      Pemikiran Tentang Demokrasi Indonesia
Miriam Budiardjo menyebutkan di dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik (2008), bahwa demokrasi yang dianut Indonesia adalah yang berdasarkan Pancasila yang masih terus berkembang dan sifat dan ciri-cirinya terdapat berbagai tafsiran dan pandangan.
Menurut Hatta ada tiga sumber pokok demokrasi yang mengakar di Indonesia. Pertama, sosialisme Barat yang membela prinsip-prinsip kemanusiaan yang sekaligus dipandang sebagai tujuan demokrasi. Kedua, ajaran Islam memerintahkan kebenaran dan keadilan Tuhan dalam masyarakat. Ketiga, pola hidup dalam bentuk kolektivisme sebagaimana terdapat di desa-desa wilayah Indonesia.[5]
4.      Pentingnya Demokrasi sebagai Sistem Politik Kenegaraan Modern
Demokrasi di mata pemikir Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles bukanlah bentuk pemerintahan yang ideal. Demokrasi kuno itu selanjutnya tenggelam oleh kemunculan pemerintahan model Kekaisaran Romawi dan tumbuhnya negara-negara kerajaan di Eropa sampai abad ke-17.
Namun demikian pada akhir abad ke-17 lahirlah demokrasi “modern” yang disemai oleh para pemikir Barat seperti Thomas Hobbes, Montesquieu, dan JJ. Rousseau, bersamaan dengan munculnya konsep Negara-bangsa di Eropa.
Perkembangan demokrasi semakin pesat dan diterima semua bangsa terlebih sesudah Perang Dunia II. Dengan demikiran, sampai saat ini demokrasi diyakini dan diterima sebagai sistem politik yang baik guna mencapai kesejahteraan bangsa. Hampir semua negara modern menginginkan dirinya dicap sebagai negara demokrasi. Sebaliknya akan menghindar dari julukan sebagai Negara yang “undemocracy”.

B.     Alasan Diperlukan Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila

Hingga saat ini kita masih menyaksikan sejumlah persoalan tentang kelemahan praktik demokrasi di Negara kita. Beberapa masalah tersebut yang sempat muncul diberbagai media jejaring sosial adalah:
1.      Buruknya kinerja lembaga perwakilan dan partai politik
2.      Krisis partisipasi politik rakyat
3.      Munculnya penguasa di dalam demokrasi
4.      Demokrasi saat ini membuang kedaulatan rakyat.
Terjadinya krisis partisipasi rakyat disebabkan karena tidak adanya peluang untuk berpartisipasi atau karena terbatasnya kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Secara lebih spesifik penyebab rendahnya partisipasi politik itu adalah:
a.       Pendidikan yang rendah sehingga menyebabkan rakyat kurang aktif dalam melaksanakan partisipasi politik
b.      Tingkat ekonomi rakyat yang rendah
c.       Partisipasi politik rakyat kurang mendapat tempat oleh pemerintah.
Munculnya penguasa didalam demokrasi ditandai oleh menjamurnya “dinasti politik” yang menguasai segala segi kehidupan masyarakat: pemerintahan, lembaga perwakilan, bisnis, peradilan, dan sebagainya oleh satu keluarga atau kroni. Adapun perihal demokrasi membuang kedaulatam rakyat terjadi akibat adanya kenyataan yang memperihatinkan bahwa setelah tumbangnya struktur kekuasaan “otokrasi” ternyata bukan demokrasi yang kita peroleh melainkan oligarki dimana kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil elit, sementara sebagian rakyat (demos) tetap jauh dari sumber-sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum, informasi, pendidikan, dan sebagainya).
Atas dasar kenyataan demikian tentu muncul sejumlah pertanyaan dibenak kita. Misalnya :
1.      Mengapa kekuasaan politik formal dikuasai oleh sekelompok orang partai yang melalui pemilu berhak “menguras” suara rakyat untuk memperoleh kursi di parlemen?
2.      Mengapa dapat terjadi suatu kondisi dimana melalui parlemen kelompok elit dapat mengatas namakan suara rakyat untuk melaksanakan agenda politik mereka sendiri yang sering kali berbeda dengan kepentingan nyata masyarakat?
3.      Mengapa pihak-pihak yang memiliki kekuasaan kharismatik yang berakar dari tradisi, maupun agama yang terdapat pada beberapa orang yang mampu menggerakkan loyalitas dan emosi rakyat yang bila perlu menjadi tumbal untuk tujuan yang bagi mereka sendiri tidak jelas masih hidup pada era demokrasi dewasa ini?
4.      Mengapa sekelompok elit daerah dapat memiliki wewenang formal maupun informal yang digunakan untuk mengatasnamakan aspirasi daerah demi kepentingan mereka sendiri.

C.    Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik Tentang Demokrasi

1.      Sumber Nilai yang Berasal dari Demokrasi Desa
Mengenai adanya anasir demokrasi dalam tradisi desa kita akan meminjam dua macam analisis berikut:
1.1.Paham kedaulatan rakyat sebenarnya sudah tumbuh sejak lama di Nusantara. Di alam Minangkabau misalnya, Raja sejati di dalam kultur Minangkabau ada pada alur (logika) dan patut (keadilan). Alur dan patutlah yang menjadi pemutus terakhir sehingga keputusan seorang Raja akan ditolak apabila bertentangan dengan akal sehat dan prinsip-prinsip keadilan (Malaka,2005).
1.2.Tradisi demokrasi asli Nusantara tetap bertahan sekalipun dibawah kekuaaan feodalisme raja-raja Nusantara karena di banyak tempat di Nusantara, tanah sebagai faktor produksi yang penting tidaklah dikuasai oleh raja melainkan dimiliki bersama oleh masyarakat desa.
2.      Sumber Nilai yang Berasal dari Islam
Inti dari keyakinan Islam adalah pengakuan pada Ketuhanan Yang maha Esa. Konsekuensinya, semua bentuk pengaturan hidup dengan menciptakan kekuasaan mutlak pada semasa manusia merupakan hal yang tidak adil dan tidak beradap. Kelanjutan logis dari prinsip Tauhid adalah paham persamaan manusia di hadapan Tuhan, yang melarang adanya perendahan martabat dan pemaksaan kehendak antar  sesama manusia. Bahkan seorang utusan Tuhan tidak berhak melakukan pemaksaan itu. Dalam perkembangannya, Hatta juga memandang stimulasi Islam sebagai salah satu sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi sosial di kalbu para pemimpin pergerakan kabangsaan.
3.      Sumber Nilai yang Berasal dari Barat
Pusat pertumbuhan demokrasi terpenting di Yunani adalah kota Athena, yang sering dirujuk sebagai contoh pelaksanaan Demokrasi Partisipatif dalam negara-negara abad ke-5 SM. Selanjutnya muncul pula praktik pemerintahan sejenis Romawi, tepatnya di kota Roma (Italia).  Yakni sistem pemerintahan Republik. Model pemerintahan demokratis model Athena dan Roma ini kemudian menyebar ke kota lain di sekitarnya, seperti Florence dan Veniece.
Kehadiran Kolonialisme Eropa, khususnya Belanda, di Indonesia membawa dua sisi dari koin peradaban Barat: Sisi Represi imprealisme-kapitalisme dan sisi humanisme-demokrasi.
Sumber inspirasi dari anasir demokrasi desa, ajaran Islam, sosiologi demokrasi barat, memberikan landasan persatuan dan keragaman. Segala keragaman ideologi-politik yang dikembangkan, yang bercorak keagamaan maupun sekuler. Semuanya memiliki titik temu dalam gagasan-gagasan demokrasi sosialitik (kekeluargan) dan secara umum menolak individualisme.

D.    Argumen Tentang Dinamika dan Tantangan Demokrasi yang Bersumber dari Pacasila

Kita dapat melihat postur demokrasi secara normatif pada konstitusi negara kita. Indonesia mengalami perubahan konstitusi dimulai sejak berlakunya UUD 1945(I), Konstitusi RIS 1949, UUDS1950, Kembali ke UUD 1945(II) dan akhirnya kita telah berhasil mengamandemen UUD 1945 sebanyak empat kali. Untuk melihat demokrasi pada saat sekarang ini kita dapat melihat dari fungsi dan peran lembaga permusyawaratan dan perwakilan rakyat menurut UUD NRI Tahun 1945, MPR, DPR dan DPD.
Untuk memahami dinamika dan tantangan demokrasi di Indonesia, kita dapat membandingkan aturan dasar dalam naskah asli UUD 1945 dan bagaimana perubahannya berkaitan dengan MPR, DPR, dan DPD (Asshiddiqie dkk, 2008).
1.      Majelis Permusyawaratan Rakyat
·         Sebelum UUD 1945 diamandemen MPR merupakan lembaga tertinggi negara.
·         Setelah UUD 1945 diamandemen MPR bukan lagi merupakan lembaga tertinggi negara, tetapi sama halnya dengan lembaga negara lainnya.
·         Kedudukan MPR berubah dari sistem vertikal hierarkis dengn prinsip supremasi MPR menjadi sistem yang horizontal fundamental dengan prinsip checks and balances (saling mengawasi dan mengimbangi) antar lembaga negara.
·         Setelah UUD 1945 diamandemen MPR tidak lagi berwenang menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
·         Kewenangan baru MPR ialah melantik Presiden dan Wakil presiden (Pasal 3 ayat 2 UUD 1945). Serta memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya (Pasal 3 ayat 3 UUD 1945).
·         MPR bisa mengisi lowongan jabatan presiden dan wakil presiden secara bersama-sama atau bilamana wakil presiden berhalangan tetap Pasal 8 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945.
2.      Dewan Perwakilan Rakyat
·         Setelah UUD 1945 diamandemen yang berubah ialah anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum
·         DPR memegang kekuasaan untuk membentuk Undang-undang
·         Dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, Presiden turut andil dalam mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disepakati bersama Pasal 20 ayat 4.
·         Kemudian perubahan UUD 1945 setelah amandemen ialah apabila rancangan undang-undang yang telah disepakati bersama tidak mendapat persetujuan dari presiden selama dalam waktu 30 hari setelah perancangan maka rancangan undang-unang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Pasal 20 ayat 5
·         Berdasarkan pasal 20 A ayat 1 funsi DPR itu ada tiga yaitu fumgsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.
·         Berdasarkan Pasal 20 A ayat 2 DPR mempunyai hak yaitu, hak interplasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
3.      Dewan Perwakilan Daerah
·         Anggota DPD dipilih melalui pemilihan umum disetiap provinsi
·         DPD dapat mengajukan rancangan Undang-Undang kepada DPR yang menyangkut tentang otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan SDE lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
·         DPD ikut mebahas rancangan Undang-Undang yang berkitan dengan daerah. Serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang.
·         DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang.
Demikianlah dinamika yang terjadi dengan lembaga permusyawaratan dan perwakilan di negara kita yang secara langsung mempengaruhi kehidupan demokrasi. Dinamika ini tentu saja kita harapkan dapat membuat semakin sehat dan dinamisnya Demokrasi Pancasila yang tengah melakukan konsolidasi menuju demokrasi yang matang.

E.     Deskripsi Esensi dan Urgensi Demokrasi Pancasila

1.      Kehidupan Demokratis yang Bagaimana yang kita Kembangkan?
Sebagai demokrasi yang berakar pada budaya bangsa, kehidupan demokratis yang kita kembangkan harus mengacu pada landasan idiil Pancasila dan landasan konstitusional UUD 1945. Berikut ini di ketengahkan “Sepuluh Pilar Demokrasi Pancasila” yang dipesankan oleh para pembentuk negara RI, sebagaimana diletakkan dalam UUD 1945 (Sanusi 1998).
No.
Pilar Demokrasi Pancasila
Maksud Esensinya
1.
Demokrasi Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Seluk-beluk sistem serta perilaku dalam menyelenggarakan kenegaraan RI harus taat asas, konsisten, atau sesuai dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah dasar Ketuhanan Yang Maha Esa
2.
Demokrasi dengan Kecerdasan
Mengatur dan menyelenggarakan demokrasi menurut UUD 1945 itu bukan dengan kekuatan naluri, kekuatan otot atau kekuatan massa semata-mata. Pelaksanaan demokrasi itu justru lebih menuntut kecerdasan rohaniah, kecerdasaan aqliyah, kecerdasan rasional dan kecerdasan emosional
3.
Demokrasi yang Berkedaulatan Rakyat
Kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Secara prinsip, rakyatlah yang memiliki/memegang kedaulatan itu. Dalam batas-batas tertentu kedaulatan rakyat itu dipercayakan kepada wakil-wakil rakyat di MPR(DPR/DPD) dan DPRD
4.
Demokrasi dengan Rule of Law
·         Kekuasaan negara RI itu harus mengandung, melindungi serta mengembangkan kebenaran hukum (legal truth) bukan demokrasi ugal-ugalan, demokrasi dagelan atau demokrasi manipulatif
·         Kekuasaan negara itu memberikan keadilan hukum (legal justice) bukan demokrasi yang terbatas pada keadilan formal dan pura-pura
·         Kekuasaan negara itu menjamin kepastian hukum (legal security) bukan demokrasi yang membiarkan kesemrawutan dan anarki
·         Kekuasaan negara itu mengembangkan manfaat atau kepentingan hukum (legal interest), seperti kedamaian dan pembangunan, bukan demokrasi yang justru memopulerkan fitnah dan hujatan atau menciptakan perpecahan, permusuhan dan kerusakan
5.
Demokrasi dengan Pembagian Kekuasaan
Demokrasi menurut UUD 1945 bukan saja mengakui kekuasaan RI yang tidak terbatas secara hukum, melainkan juga demokrasi itu dikuatkan dengan pembagian kekuasaan negara dan diserahkan kepada badan-badan negara yang bertanggung jawab. Jadi demokrasi menurut UUD 1945 mengenal semacam division and separatation of power, dengan sistem check and balance
6.
Demokrasi dengan Hak Asasi Manusia
Demokrasi menurut UUD 1945 mengakui hak asasi manusia yang tujuannya bukan saja menghormati hak-hak asasi tersebut, melainkan terlebih-lebih untuk meningkatkan martabat dan derajat manusia seutuhnya
7.
Demokrasi dengan Pengadilan yang Merdeka
Demokrasi menurut UUD 1945 menghendaki diberlakukannya sistem peradilan yang merdeka (independen) yang memberi peluang seluas-luasnya kepada semua pihak yang berkepentingan untuk mencari dan menemukan hukum yang seadil-adilnya . Di muka pengadilan yang merdeka, penggugat dengan pengacaranya, penuntuk umum dan terdakwa dengan pengacaranya mempunyai hak yang sama untuk mengajukan konsideransi, dalil-dalil,fakta-fakta, saksi, alat, pembuktian dan petitumnya
8.
Demokrasi dengan Otonomi Daerah
Otonomi daerah merupakan pembatasan terhadap kekuasaan negara, khususnya kekuasaan legislatif dan eksekutif di tingkat pusat, dan lebih khusus lagi pembatasan atas kekuasaan presiden. UUD 1945 secara jelas memerintahkan dibentuknya daerah-daerah otonom besar dan kecil, yang ditafsirkan daerah otonom I dan II. Dengan Peraturan Pemerintah daerah-daerah otonom itu dibangun dan disiapkan untuk siap mengatur dan menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya sendiri yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepadanya.
9.
Demokrasi dengan Kemakmuran
Demokrasi itu bukan hanya soal kebebasan dan hak, bukan hanya soal kewajiban dan tanggung jawab, bukan pula hanya soal mengorganisir kedaulatan rakyat atau pembagian kekuasaan kenegaraan. Demokrasi itu bukan pula hanya soal otonomi daerah dan keadilan hukum. Sebab bersamaan itu semua, jika dipertanyakan “where is the beef?”, demokrasi menurut UUD 1945 itu ternyata ditujukan untuk membangun negara kemakmuran oleh dan untuk sebesar-besarnya rakyat Indonesia
10.
Demokrasi yang Berkeadilan
Sosial, Demokrasi menurut UUD 1945 menggariskan keadilan sosial di antara berbagai kelompok, golongan dan lapisan masyarakat. Tidak ada golongan, lapisan, kelompok, satuan atau organisasi yang menjadi anak emas, yang diberi berbagai keistimewaan atau hak-hak khusus
2.      Mengapa Kehidupan yang Demokrasi Itu Penting?
2.1.Partisipasi dalam Pembuatan Keputusan
Dalam negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan pemerintahan dijalankan berdasarkan kehendak rakyat. Sebagai contoh ketika masyrakat kota tertentu resah dengan semakin tercemarnya udara oleh asap rokok yang berasal dari para perokok, maka pemerintah kota mengeluarkan peraturan daerah tentang larangan merokok di tempat umum.
2.2.Persamaan Kedudukan di Depan Hukum
Seiring dengan adanya tuntutan agar pemerintah harus berjalan dengan baik dan dapat mengayomi rakyat dibutuhkan adanya hukum. Hukum itu mengatur bagaimana seharusnya penguasa bertindak, bagaimana hak dan kewajiban dari penguasa dan juga rakyatnya. Artinya, hukum harus dijalankan dengan adil dan tidak pandang bulu. Untuk menciptakan hal itu harus ditunjang dengan adanya aparat penegak hukum yang tegas dan bijaksana.
2.3.Distribusi Pendapatan Secara Adil
Dalam negara demokrasi, semua bidang dijalankan dengan berdasarkan prinsip keadilan bersama dan tidak berat sebelah, termasuk di dalam bidang ekonomi. Semua warga negara berhak memperoleh pendapatan yang layak.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kehidupan demokratis penting dikembangkan dalam berbagai kehidupan, karena seandainya kehidupan demokratis tidak terlaksana, maka asas kedaulatan rakyat tidak berjalan, tidak ada jaminan HAM, tidak ada persamaan di depan hukum.
3.      Bagaimana Penerapan Demokrasi dalam Pemilihan Pemimpin Politik dan Pejabat Negara?
Pemilihan pemimpin merupakan wujud partisipasi politik. Partisipasi politik adalah kegiatan kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.[6]
Seorang pemimpin memang harus yang memiliki kemampuan memadai sehingga ia mampu melindungi dan mengayomi rakyatnya dengan baik. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Berdasarkan sistem demokrasi yang kita anut, seorang pemimpin itu harus beriman dan bertaqwa, bermoral, berilmu, terampil, dan demokratis

F.     Studi Kasus

Studi kasus mengenai Demokrasi Pancasila di Indonesia dapat kita lihat dari kasus “Terkekangnya Media Pers Saat Era Orde Baru”. Ketika Orde Lama runtuh dan kemudian memasuki Era Orde Baru para media pers mendapat tekanan yang begitu keras dari pemerintah dan mulai terkekang pergerakannya. Pers dilarang untuk memberitakan berita miring seputar pemerintahan. Jika ada yang berani memberikan kiritikan kepada pemerintahan saat itu dan kemudian mempublikasikannya maka akan ada ancaman keras yang akan diperoleh oleh penerbit.
Selain itu, pemerintah didukung dengan adanya siaran televisi yang dikuasainya, yaitu TVRI, dan ditambah lagi pemerintah dengan berbagai peraturannya memberendel berbagai media cetak yang tidak sejalan dengan pemerintahan.  Bentuk lain dari pengekangan pers saat itu ialah munculnya SIUPP (Surat Izin Untuk Penerbitan Pers). Demikianlah ketatnya masa orde baru terhadap pers, sehingga peranan Pers sebagai transmisi informasi dan katalisator bagi perubahan politik sosial tidak dapat berjalan baik. Hal ini tentunya sangat tidak sesuai dengan Demokrasi Pancasila yang mengusung kebebasan berpendapat.

Bagan 1. Sumber : http://www.kompasiana.com/hildasaadatinis/terkekangnya-media-pers-saat-era-orde-baru_55283e5d6ea834031d8b4590

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang berdasar Pancasila dan UUD 1945. Demokrasi Pancsila dalam arti luas adalah kedaulatan atau kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat yang dalam penyelenggaraannya dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila dan dijalankan sesuai rumusan nilai dan norma dalam UUD 1945. Praktik yang berjalan juga harus sesuai dengan dinamika perkembangan kehidupan kenegaraan Indonesia. Sekalipun telah terumus dengan baik, namun dalam kenyataannya praktik Demokrasi Pancasila mengalami pasang surut. Oleh karena itu, perjuangan untuk menuju Indonesia menjadi lebih baik turut menjadi tanggung jawab bersama melalui peran kita dalam mempertahankan Demokrasi Pancasila sebagai ciri khas yang dimiliki Indonesia.

B.     Saran

1.      Otoritas tertinggi dalam sebuah negara yaitu pemerintah, hendaknya mengetahui dan memahami dengan jelas hakikat dan makna dari Pancasila itu sendiri serta berupaya mewujudkannya dalam mengayomi dan menyejahterakan rakyatnya
2.      Masyarakat juga hendaknya memahami betul makna Demokrasi Pancasila sehingga dapat menjadi pedoman dan kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga mampu untuk bisa lebih pro-aktif demi Indonesia yang lebih baik kedepan
3.      Mahasiswa sebagai akademisi hendaknya mampu menciptakan dan mengawal proses berbangsa dan bernegara berdasarkan cita-cita dari Pancasila itu sendiri, sehingga tercipta bangsa yang beradab dan memiliki potensi masa depan yang cerah dan tidak mudah terprovokasi untuk merusak tatanan pancasila itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA


Buku

Budiarjo Miriam. (1981). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta:Gramedia.

Kaelan dan Achmad Zubaidi. (2007). Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: PARADIGMA.
Maarif Ahmad Syafii. (1996). Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Jakarta: Gema Insani Press.
Priyono AE dan Usman Hamid. (2014). Merancang Arah Baru Demokrasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
RISTEKDIKTI. (2016). Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta:Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi.
Halaman Web
http://www.kompasiana.com/hildasaadatinis/terkekangnya-media-pers-saat-era-orde-baru_55283e5d6ea834031d8b4590


[1] Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik,( Jakarta: Gramedia, 1981) h. 105
[2] RISTEKDIKTI, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi) h. 145
[3] Prof. Dr. H. Kaelan, M.S dan Drs. H. Achmad Zubaidi, M.Si, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: PARADIGMA, 2007) hlm. 70
[4] AE Priyono dan Usman Hamid, Merancang Arah Baru Demokrasi, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014) h.143
[5] Dr. Maarif Ahmad Syafii, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h. 197
[6] Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik,( Jakarta: Gramedia, 1981) h. 367

UP Alert (http://ebenzezher-ebenzezher.blogspot.com)

Hola, Su sitio web: http://ebenzezher-ebenzezher.blogspot.com (HTTP(s)) se encuentra Online nuevamente (Estuvo Offline 2y ...