Showing posts with label SEJARAH. Show all posts
Showing posts with label SEJARAH. Show all posts

Tuesday, July 3, 2018

Ruang Lingkup dan Perkembangan Teori Hubungan Internasional


Ruang Lingkup dan Perkembangan Teori Hubungan Internasional
 Oleh : Eben Ezher Pakpahan
 
            Menurut catatan Steve Smith dalam buku The Study of International Relations, The State of The Art[1] bahwa awal perkembangan ilmu hubungan internasional menjadi satu disiplin ilmu tersendiri baru dimulai segera setelah Perang Dunia I (PD I). Sebelum PD I, terutama merujuk perkembangan di Eropa umumnya, khususnya di Inggris, kajian hubungan internasional dipelajari secara terpisah diberbagai cabang ilmu seperti dalam bidang hukum, sejarah, dan falsafah. Bidang lain yang turut mengkaji ilmu hubungan internasional ketika itu adalah bidang ekonomi terutama yang berkaitan dengan perdagangan internasional. Pendekatan-pendekatan dari bebagai bidang ilmu ini tidak cukup memuaskan untuk memahami intisari hubungan internasional yang sebenarnya.
Ada dua kenyataan yang dihadapi dalam memahami hubungan internasional. Pertama, bahwa masyarakat internasional adalah sangat berbeda dengan masyarakat nasional. Masyarakat internasional terdiri dari aktor-aktor yang memiliki kedaulatan sendiri atau berada dibawah kedaulatan yang berbeda, karena itu tidak tunduk pada satu kekuatan politik dan hukum yang terpusat. Untuk memahami interaksi diantara mereka memerlukan pemahaman yang menyeluruh baik dari aspek politik maupun sejarahnya. Kedua, ilmu hubungan internasional memerlukan pendekatan dan alat (metoda) tersendiri yang berbeda dengan pendekatan atau cara pandang kajian politik umumnya. Kedua kenyataan ini berhadapan dengan kenyataan lainnya yaitu peperangan antar bangsa-bangsa Eropa disatu sisi dan keinginan orang untuk hidup damai telah mendorong para ilmuwan ketika itu untuk mengajukan pemikiran teoritik di bidang hubungan internasional.
Pemikiran yang diajukan adalah hubungan internasional tidak boleh lagi dipandang sebagai disiplin ilmu yang terpisah, melainkan disiplin yang memiliki cara pandang atau pendekatan khusus yang mampu menterjemahkan dan memahami dimensi empiriknya secara utuh. Tatanan politik internasional pada akhir abad 19 itu juga cukup berpengaruh terhadap perkembangan kajian hubungan internasional. Inggris sebagai sebagai kekuatan dominan ketika itu juga mendominasi perkembangan pemikiran dalam bidang kajian ini. Pemikiran yang muncul juga tidak terlepas dari cerminan kepentingan Inggris dalam menghadapi tatanan dunia yang multi polar.
Pemikiran yang diajukan berlandaskan pada hujjah (alasan) bahwa peperangan bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh setiap orang, dan merupakan dosa dan musibah yang terjadi akibat ketidak sengajaan. Peperangan antar bangsa terjadi adalah akibat prasangka yang muncul dalam menafsirkan keamanan yang mendorong orang mengembangkan senjata sehingga pada akhirnya manusia terjebak dalam perang. Hedley Bull salah seorang pemikir ketika itu berpendapat bahwa sistem hubungan internasional yang telah menghasilkan PD I sebenarnya dapat diubah tatanannya secara fundamental kepada keadaan yang lebih damai, dibawah pengaruh kebangkitan demokrasi, pertumbuhan pemikiran global, pembentukan Liga Bangsa Bangsa, karya-karya yang baik tentang perdamaian yang disebarkan melalui pengajaran atau pendidikan. Pemikiran ini dikenal dengan paradigma idealisme.
Berdasarkan keadaan yang dipaparkan di atas tercermin sebuah kenyataan bahwa ilmu hubungan internasional lahir sebagai sebuah disiplin ilmu sangat berbeda dengan ilmu sosial lainnya. Ilmu hubungan internasional pada saat lahirnya sangat preskriptif (memberi pedoman), normatif, dan didasarkan pada karya konseptual dari aktifitas ilmuwan yang sangat dekat keterkaitannya dengan pengambilan kebijakan. Ilmu hubungan internasional lahir dan berkembang sebagai bentuk tanggapan langsung terhadap peristiwa-peristiwa nyata yang terjadi di dunia dan mendefinisikan tujuan-tujuannya untuk mencegah pengulangan peristiwa-peristiwa tersebut.
Pemikiran idealis ini berkembang sejak akhir PD I hingga PD II (1920-an hingga 1930-an). Pemikiran idealis ini tampil menawarkan kepada para pengambil kebijakan di berbagai negara sebuah tatacara untuk menghindari perang. Namun kenyataannya selama dekade 1920-an dan 1930-an ketegangan akibat pacuan senjata di Eropa terus meningkat. Aliasi militer Triple Etente (Inggris, Perancis, Rusia) dan Triple Alliance (Jerman, Italia, Austria) terbentuk dan saling berhadapan. LBB tumbuh menjadi lembaga yang digunakan sebagai ajang membangun kekuatan bagi negara-negara besar Eropa sehingga lembaga yang dibentuk atas dasar cita-cita perdamaian dunia justru berubah menjadi wilayah konflik. Munculnya nazi Jerman sebagai sebuah kekuatan militer besar adalah sebuah kenyataan yang terencana untuk menjadikan negara fasis itu sebagai kekuatan dominan di Eropa. Menguatnya upaya Inggris membangun aliansi untuk mencegah ambisi Jerman adalah kenyataan lain yang juga terencana. Persaingan kekuatan ini kemudian menampilkan kenyataan baru di Eropa, yaitu Perang Dunia II.
Pertanyaan mendasar adalah ketika diyakini manusia berkeinginan untuk damai mengapa mereka merencanakan perang? Pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh pemikiran idealis. Sebaliknya masyarakat dunia dikejutkan dengan kenyataan perang besar yang kesekian kalinya dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa. Masalah utama yang melekat dalam paradigma idealis adalah pemikiran yang ditawarkan jauh dari kenyataan yang dilakukan oleh para pemimpin di negara-negara Eropa. Kenyataan di Eropa menunjukkan keinginan yang kuat dari para pemimpinnya untuk melakukan perang dalam upaya meraih dominasi kekuatan baik dibidang ekonomi maupun militer. Ambisi kekuasaan yang sangat menonjol ini kemudian membimbing bangsa-bangsa Eropa terseret kedalam kekacauan besar yang sama sekali menghancurkan keamanan dan perdamaian. E.H. Carr dalam bukunya The Twenty Years Crisis[2] mengkritik pemikiran idealis bahwa mekanisme yang ditawarkan idealis tidak mampu mencegah perang, dan mediasi untuk meredakan konflik tidak berjalan. Pemikiran idealis dianggap sebagai mimpi kosong (utopia).
Kegagalan paradigma idealis dalam menjelaskan kenyataan hubungan internasional pada dekade 1930-an mendapat tanggapan dengan lahirnya paradigma alternatif yang dikenal sebagai paradigma realisme. Paradigma realisme ini muncul pada era pasca PD II (1940-an) dan secara umum adalah paradigma yang paling dominan, paling tidak dominasinya berlangsung hingga dekade 1980-an. Kemunculan paradigma realisme ini juga tidak terlepas dari tampilnya Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan pada era dan pasca PD II. Bahkan ada kecenderungan pemerintah Amerika mendorong diperkuatnya kajian hubungan internasional untuk memetakan tindakan negara adi daya ini kedepan.
Pemikiran awal yang ditawarkan oleh paradigma realisme ini ada tiga prinsip. pertama adalah negara merupakan aktor terpenting dalam hubungan internasional. Kedua, terdapat perbedaan yang tajam antara politik dalam negeri dan politik internasional. Ketiga, titik tekan perhatian kajian hubungan internasional adalah tentang kekuatan dan perdamaian. Karya yang dinilai fundamental dalam membangun paradigma realis ini adalah Politics Among Nations oleh Morgenthau dan The Twenty Years Crisis oleh E.H. Carr.
Realisme adalah tradisi teoritik yang mendominasi studi hubungan internasional selama masa Perang Dingin. Pendekatan teoritik ini menggambarkan hubungan internasional sebagai suatu pergulatan memperebutkan kekuasaan diantara negara-negara yang masing-masing mengejar kepentingan nasionalnya sendiri dan umumnya pesimistik mengenai prospek upaya penghapusan konflik dan perang. Realisme mendominasi masa Perang Dingin karena gagasan ini bisa memberi penjelasan yang sederhana tetapi cukup meyakinkan mengenai perang, aliansi, imperialisme, hambatan terhadap kerjasama, dan berbagai fenomena internasional, dan karena penekanannya pada kompetisi waktu itu sesuai dengan sifat pokok persaingan AS-Uni Soviet (US).
Realisme memang bukan teori tunggal dan pemikiran realis selama masa Perang Dingin telah mengalami perubahan. Realis “klasik” seperti Hans Morgenthau dan Reihold Niebuhr yakin bahwa, seperti halnya makhluk manusia, setiap negara memiliki keinginan naluriah untuk mendominasi negara-negara lain, sehingga membuat mereka berperang. According to classical realism, because the desire for more power is rooted in the flawed nature of humanity, states are continuously engaged in a struggle to increase their capabilities. The absence of the international equivalent of a state’s government is a permissive condition that gives human appetites free reign. In short, classical realism explains conflictual behavior by human failing.”[3] Morgenthau juga menekankan peran penting dari sistem perimbangan kekuatan multi-polar klasik[4] dan memandang sistem bipolar yang memungkinkan persaingan sengit antara AS dan US sebagai sistem yang sangat berbahaya.
Sebaliknya, teori “neo-realis” yang diajukan oleh Kenneth Waltz mengabaikan peran sifat manusia dan memusatkan perhatian pada akibat dari sistem internasional. Menurut Waltz, sistem internasional terdiri dari sejumlah negara besar, yang masing-masing berusaha untuk bertahan hidup. Karena sistem itu anarkis (yaitu tidak ada wewenang terpusat yang bisa melindungi negara dari serbuan negara lain), maka masing-masing negara harus mempertahankan hidupnya dengan usaha sendiri. Waltz berpendapat bahwa kondisi seperti ini akan mendorong negara-negara yang lebih lemah saling-bersekutu untuk mengimbangi (balance) dan melawan negara-negara yang lebih kuat, bukan malah bergabung (bandwagon) dengan negara-negara kuat itu. Bertolak-belakang dengan pendapat Morgenthau, Waltz menyatakan bahwa bipolaritas lebih stabil daripada multipolaritas.


[1] Dyer Hugh C. & Mangasarian, Leon, (Editors), 1989, The Study Of International Relations, The State of the Art, St. Martin’s Press in association with New York Millenium: Journal of International Studies,
[2] Misalnya, pengembangan sistem persenjataan nuklir dengan kemampuan membalas (retaliatory) yang meyakinkan, bukan menekankan kemampuan menyerbu.
[3] Martin Griffiths, 2007, “International Relations Theory for the Twenty-First Century, An Introduction”, New York : Routledge, hal. 12
[4] Yaitu sistem yang berlaku di Eropa sesudah Perang Napoleon (pertangahan abad 19) sampai sebelum Perang Dunia I (awal abad 20).

Wednesday, January 10, 2018

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN VLADIMIR ILYICH ULYANOV LENIN

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN VLADIMIR ILYICH ULYANOV LENIN

Oleh : Eben Ezher Pakpahan, Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Riau


Vladimir Lenin

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pemikiran politik merupakan bidang kajian ilmu politik yang cukup penting. Kajian pemikiran politik memfokuskan pada penyelidikan pemikiran-pemikiran dari tokoh politik, filsuf politik, maupun kelompok sosial yang berpengaruh melalui ide-ide politiknya. Pemikiran politik berkaitan erat dengan sejarah, filsafat politik, dan hal-hal yang nilai, norma, etika, moralitas, dan idealisme politik.
Pemikiran politik terdiri dari elemen-elemen ide, obsesi, potensi intelektual, dan sosialisasi politik, yang merupakan representasi realitas lingkungan sosial mengenai masalah Negara, masyarakat, dan kekuasaan. Menurut Alfian (1986) potensi intelektual yang dimiliki seseorang memengaruhi pemikirannya, dan juga proses sosial yang pernah diterima dari pengalaman kehidupan dan lingkungannya, misalnya lingkungan keluarga, pendidikan, atau organisasi sosial-politik yang pernah diikutinya. Singkat kata, disamping faktor kecerdasan, corak pemikiran seseorang juga banyak dipengaruhi oleh proses sosialisasi yang pernah didapatkannya dari lingkungan.

B.     Tujuan Penulisan

Tujuan dari pelaksanaan studi literatur serta penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana biografi dan peran serta pemikiran Lenin dalam dinamika pemikiran politik barat.

C.    Rumusan Masalah

1.      Bagaimana biografi singkat Lenin?
2.      Bagaimana kehidupan pribadi dan karakteristik Lenin?
3.      Bagaimana peran dan pemikiran Lenin
4.      Bagaimana ideologi politik Lenin?

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Biografi Singkat Lenin

Lenin bernama lengkap Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin, Simbirsk, Rusia, 22 April 1870 dan meninggal 21 Januari 1924 saat berumur 53 tahun. Kematiannya berawal ketika ia ditembak tanggal 30 Agustus 1918, oleh seorang wanita bernama Fanya Kaplan karena di anggap mengkhianati Revolusi Rusia. Lenin bisa selamat tetapi kesehatannya terus menurun. Akhirnya, ia meninggal dunia pada tanggal 21 Januari 1924 setelah terkena stroke sebanyak empat kali. jasadnya di balsem dan ditempatkan di musoleum Lapangan Merah hingga saat ini.
Lenin adalah tokoh revolusioner komunis Rusia, penganut ajaran Karl Marx, pemimpin partai Bolshevik, Perdana Menteri Uni Soviet pertama, Kepala Negara de facto pertama Uni Soviet dan tokoh yang memperkenalkan paham Leninisme. Nama Lenin sebenarnya adalah sebuah nama samaran dan diambil dari nama sungai Lena, di Siberia.
Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin adalah pemimpin politik pendiri Komunisme di Rusia. Ia penganut Karl Marx yang meletakkan dasar politik Marxisme begitu kuatnya hingga ke seluruh penjuru dunia. Lenin diakui sebagai salah seorang yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia. Lenin memimpin revolusi pada taun 1917 dan berhasil membentuk diktatur poletariat seperti yang diharapkan oleh Marx. Dengan pandangan yang dibayangkan oleh Marx terhadap Undang Undang Dasar 1918 yang mencermikan tahap revolusi yang pertama, untuk memusnahkan golongan-golongan kelas atas seperti penindas, tuan tanah, pejabat agama, pengusaha, polisi dan lain sebagainya.[1] Ayahnya seorang pegawai negeri Rusia yang berjuang untuk meningkatkan demokrasi dan pendidikan bebas untuk semua orang di Rusia. Namun kakaknya Alexander adalah seorang tokoh radikal yang dijatuhi hukuman mati karena terlibat dalam pembunuhan Tsar Alexander III. Saat berumur 23 tahun, Lenin telah menjadi pengikut setia ajaran Marxisme sehigga pada bulan Desember 1895 dia ditahan pemerintah Tsar karena kegiatan politiknya dan dijebloskan ke dalam penjara selama empat belas bulan. Sesudah itu dia dibuang ke semenanjung Siberia.

B.     Kehidupan Pribadi dan Krakteristik Lenin

Lenin memandang dirinya sendiri sebagai orang penentu, dan meyakini hak atas sebab-sebabnya dan kemampuannya sendiri sebagai pemimpin revolusioner. Biografer Louis Fischer menyebutnya sebagai "seorang pecinta perubahan radikal dan kebangkitan maksimum", seorang pria yang "tidak pernah menjadi menengah kebawah. Ia merupakan seorang eksagerator hitam atau merah". Menyoroti "kapasitas luar biasa atas karya kedisiplinan" dan "devosi sebab revolusioner" Lenin, Pipes menyatakan bahwa ia mencurahkan karisma penuh. Hal yang sama diutarakan oleh Volkogonov yang meyakini bahwa "dengan kekuatan kepribadiannya, Lenin memiliki pengaruh terhadap rakyat. Meskipun demikian, teman Lenin Gorky menyatakan bahwa dalam penampilan fisiknya sebagai "orang berkepala botak, gempal dan tegak", revolusioner komunis tersebut "terlalu biasa" dan tidak memberikan "impresi menjadi seorang pemimpin". Kumpulan tulisan-tulisan Lenin mengungkapkan secara rinci seorang pria dengan kehendak besi, memperbudak sendiri disiplin diri, mencemooh lawan dan tantangan, penentuan dingin fanatik, pengendalian fanatik, dan kemampuan untuk meyakinkan atau menggertak orang lemah dengan keperluan tunggalnya, memaksakan intensitas, pendekatan impersonal, pengorbanan pribadi, kecerdasan politik, dan keyakinan penuh terhadap kepemilikan kebenaran mutlak. Hidupnya menjadi sejarah gerakan Bolshevik.
Salah satu penulis biografi Lenin, sejarawan Robert Service, menjelaskan bahwa Lenin merupakan "seorang muda yang emosinya meledak-ledak” dan menunjukkan "kebencian mendalam" terhadap "sedikit saja tanda-tanda pelanggaran hukum atau korupsi" yang dilihatnya dalam pemerintahan Tsar. Service juga menyatakan bahwa Lenin memiliki "ikatan batin" dengan para pahlawan ideologisnya seperti Marx, Engels, dan Chernyshevsky yang ditunjukkan dengan menyimpan foto-foto mereka, dan secara pribadi menyebut dirinya sendiri "cinta" dengan Marx dan Engels. Menurut biografer Lenin James D. White, Lenin menganggap tulisan-tulisan mereka sebagai "tulisan suci", "dogma relijius", yang harus "tidak dipertanyakan namun dipercaya". Dalam pandangan Volkogonov, Lenin menerima Marxisme sebagai "kebenaran absolut", dan bertindak seperti "fanatik relijius". Hal yang sama juga diutarakan oleh Bertrand Russell yang menyatakan bahwa Lenin memamerkan "kepercayaan teguh – kepercayaan relijius dalam injil Marxian". Biografer Christopher Read menyimpulkan bahwa Lenin merupakan "orang sekuler yang setara dengan para pemimpin teokratik yang memberikan pengesahan mereka dari kebenaran doktrin-doktrin mereka, bukannya mandat populer". Lenin adalah seorang ateis dan kritikus agama, meyakini bahwa sosialisme adalah ateistik inheren; ia menganggap sosialisme Kristen adalah sebuah kontradiksi.
Lebih lanjut, Service beranggapan bahwa Lenin bisa jadi sosok yang "sikap dan pendiriannya mudah berubah", dan Pipes menyebutnya "pembenci setiap orang", sebuah pandangan yang disangkal oleh Read, yang menyoroti beberapa hal dimana Lenin menyimpan rasa baik hati, terutama kepada anak-anak. Menurut beberapa biografer, Lenin, bersikap intoleran terhadap oposisi dan sering menyingkirkan opini-opini yang berbeda dari miliknya sendiri. Ia akan "mengecam kritikan terhadapnya dari orang lain", memberikan cemoohan, ejekan, dan serangan ad hominem terhadap orang-orang yang tidak setuju dengannya. Ia mengabaikan kenyataan yang tidak selaras dengan argumennya, menolak berkompromi, dan sangat jarang membenahi kesalahannya sendiri. Ia menolak untuk menarik opini-opininya, sampai ia menyangkalnya secara bulat, setelah ia menerima pandangan baru jika hal tersebut tidak menyimpang. Meskipun ia tidak menunjukkan sikap sadisme atau kepribadian yang menyukai tindak kekerasan, Lenin mendorong tindak kekerasan terhadap orang lain dan menunjukan pertidaktanggungjawaban terhadap orang-orang yang tewas karena sebab revolusioner. Mengadopsi pendirian amoral, dalam pandangan Lenin pada akhirnya selalu menjustifikasikan pengartian tersebut;[ menurut Service, Lenin "mengkriteriakan moralitas secara sederhana: apakah tindakan tersebut memajukan atau memundurkan sebab Revolusi?”[
Lenin yang pada bagian luar tampaknya begitu lembut dan baik hati, yang suka tertawa, menyayangi binatang dan rawan kenangan sentimental, berubah saat pertanyaan kelas atau politik muncul. Ia sekaligus menjadi sangat kejam, tanpa kompromi, jahat dan pendendam. Namun, bahkan dalam keadaan seperti itu, ia mampu membuat humor gelap.
Disamping bahasa Rusia, Lenin dapat berbicara dan membaca bahasa Perancis, Jerman, dan Inggris. Selain pemanasan fisik, ia giat bersepeda, berenang, dan berburu, dan juga mengembangkan minat untuk mendaki gunung di puncak-puncak Swiss. Ia juga pecinta hewan, terutama kucing. Meskipun hidup berkemewahan, ia menjalani gaya hidup sederhana, dan Pipes menyatakan bahwa Lenin "sangat sederhana dalam kebutuhan pribadinya", yang berujung pada "gaya hidup yang keras dan hampir asketis". Lenin menyukai kerapian yang ditunjukkan oleh meja kerjanya yang selalu tertata rapi dan pensil-pensil yang selalu runcing, dan mengambil sikap ketenangan total saat bekerja. Menurut Fischer, Lenin "tidak terlalu sombong", dan karena alasan tersebut, ia tidak menyukai kultus personalitas yang pemerintah Soviet mulai bangun untuknya; ia tidak pernah menerima bahwa hal tersebut memiliki beberapa manfaat dalam menyatukan gerakan komunis.
Disamping politik revolusionernya, Lenin membenci eksperimentasi revolusioner dalam sastra dan seni rupa, selain mengekpresikan kebenciannya terhadap ekspresionisme, futurisme, dan kubisme, dan menyukai realisme dan sastra klasik Rusia. Lenin juga memiliki pandangan konservatif terhadap seks dan pernikahan Sepanjang kehidupan dewasanya, ia menjalin hubungan dengan Krupskaya, seorang Marxis sejawatnya yang ia nikahi. Lenin dan Krupskaya merasa sedih karena mereka tidak pernah memiliki anak, meskipun mereka dihibur teman-teman mereka Read menyatakan bahwa Lenin memiliki "hubungan seumur hidup, hangat, dan sangat dekat" dengan para anggota keluarga dekatnya,  meskipun ia tidak memiliki teman seumur hidup, dan Armand disebut sebagai satu-satunya orang dekat kepercayaannya.
Secara etnis, Lenin diidentifikasikan sebagai orang Rusia.  Ia nampaknya tidak meyadari bahwa ibunya adalah keturunan Yahudi, dan baru disadari oleh saudarinya Anna setelah Lenin meninggal. Service menyebut Lenin "tidak terlalu sombong dalam hal nasional, sosial dan kebudayaan". Pemimpin Bolshevik tersebut meyakini bahwa negara-negara Eropa lainnya, khususnya Jerman, memiliki budaya superior ketimbang Rusia, "salah satu negara yang terlalu kemalaman, abad pertengahan dan bahkan terbelakang dari negara-negara Asia".Ia menyayangkan terhadap apa yang ia anggap kurangnya kehati-hatian dan disiplin dari masyarakat Rusia, dan dari masa mudanya, ia ingin Rusia menjadi lebih modern dari Eropa dan Barat.

C.    Peran dan Pemikiran Lenin

Biarpun arti penting Lenin terletak pada seorang pemimpin politik praktis, Lenin juga menunjang pengaruhnya lewat tulisan-tulisan. Pikiran-pikiran Lenin tidaklah bertentangan dengan Marx tetapi ada perubahan tekanan. Lenin kelewat terpukau oleh taktik-taktik revolusi dan dia merasa punya kelebihan khusus dalam urusan ini. Dia tak henti-hentinya menekankan perlunya penggunaan kekerasan: "Tak ada masalah apa pun dalam hubungan perjuangan kelas dapat diselesaikan tanpa kekerasan," adalah ungkapan khasnya. Marx hanya mengaitkan perlunya kediktatoran proletariat sekali-sekali saja, tetapi Lenin sudah terlalu tergoda dengan itu. Misalnya ucapannya: "Diktatur proletariat tak lain dan tak bukan daripada kekuasaan berdasarkan kekerasan yang tak ada batasnya, baik batas hukum maupun batas aturan absolut.”
Ide Lenin tentang kediktatoran sesungguhnya lebih penting ketimbang politik ekonominya. Ciri terpokok pemerintahan Soviet bukanlah di bidang politik ekonominya (banyak pemerintahan sosialis di banyak negeri) tetapi ciri pokoknya lebih terletak pada teknik mempertahankan kekuasaan politik untuk jangka waktu tak terbatas. Terhitung sejak saat Lenin hidup, tak ada satu pun pemerintah Komunis di mana pun juga di dunia ini --sekali berdiri dengan kokohnya-- dapat tergulingkan. Dengan pengawasan yang seksama terhadap semua lembaga kekuasaan dalam negeri --mass media, bank, gereja, serikat buruh dan lain-lain-- pemerintahan Komunis tampaknya sudah mengikis adanya kemungkinan-kemungkinan penggulingan pemerintahan. Bisa saja ada titik-titik lemah pada kekuatannya, tetapi tak seorang pun mampu menemukannya.
Tidaklah jelas benar siapakah yang bisa dianggap paling berpengaruh dalam gerakan ini, Marx atau Lenin. Saya beranggapan Marx punya arti lebih penting karena dia mendahului dan mempengaruhi Lenin. Tetapi masih bisa dibantah anggapan ini karena kemampuan politik praktis Lenin merupakan faktor yang amat ruwet dalam hal mendirikan Komunisme di Rusia. Tanpa peranan Lenin, Komunis rasanya mesti menunggu bertahun-tahun untuk punya kesempatan memegang kekuasaan dan akan menghadapi perlawanan yang lebih terorganisir. Karena itu, bukan mustahil tidak bisa berhasil. Dalam hal memantapkan arti penting Lenin, orang jangan lupa betapa singkatnya masa kekuasaan dipegangnya. Juga, berdirinya diktatur proletariat di Uni Soviet lebih besar berkat Lenin ketimbang penggantinya, Stalin yang lebih keras.
Sepanjang hidupnya Lenin seorang pekerja keras dan tekun. Dia seorang yang kenamaan dan jumlah buku yang ditulisnya tak kurang dari 55 jilid. Dia mengabdikan seluruh hidupnya untuk tujuan-tujuan revolusi, dan meskipun dia mencintai keluarganya, dia tak mau pekerjaannya terganggu. Ironisnya, biar dia menghabiskan sepenuh umurnya dalam percobaan melenyapkan penindasan, hasil yang dicapainya dari perjuangan adalah penghancuran semua segi kebebasan pribadi.

D.    Ideologi Politik Lenin

Lenin adalah seorang pemegang teguh Marxisme, dan meyakini bahwa interpretasinya terhadap Marxisme – yang mula-mula disebut "Leninisme" oleh Martov pada 1904 – adalah sebuah hal tunggal yang otentik dan ortodoks menurut sudut pandang Marxis-nya, umat manusia akan meraih komunisme murni, menjadi tak bernegara, tak berkelas, masyarakat buruh egalitarian yang bebas dari eksploitasi dan alienasi, dikendalikan oleh pikiran mereka sendiri, dan dijunjung dengan peran "dari setiap orang menurut kemampuannya, menuju setiap orang untuk kebutuhannya". Menurut Volkogonov, Lenin "sangat dan telah lama" meyakini bahwa wadah yang ia bentuk pada Rusia akan langsung berujung pada pendirian masyarakat komunis tersebut.
Namun, kepercayaan Marxis Lenin membuatnya memandang bahwa masyarakat tidak berubah langsung dari keadaan saat ininya ke komunisnya, namun mula-mula harus memasuki periode sosialisme, sehingga perhatian utamanya adalah bagaimana mengubah Rusia menjadi masyarakat sosialis. Sampai disitu, ia meyakini bahwa kediktatoran proletatiat diperlukan untuk menekan burjois dan mengembangkan ekonomi sosialis. Ia mendefinisikan sosialisme sebagai "sebuah tatanan kooperator tersipilisasi dimana alat produksi dimiliki secara sosial", dan meyakini bahwa sistem ekonomi tersebut akan berakhir sampai masyarakat akan menjadi masyarakat berkelimpahan. Untuk mencapainya, ia menempatkan ekonomi Rusia di bawah kontrol negara agar menjadi perhatian utamanya, dengan – dalam kata-katanya – "seluruh warga negara" menjadi "pekerja dari negara". Interpretasi sosialisme Lenin tersentralisasi, terencana dan statis, dengan produksi dan distribusi yang terkendali. Ia meyakini bahwa seluruh buruh di seluruh negara tersebut akan secara sukarela bergabung bersama untuk mewujudkan sentralisasi ekonomi dan politik di negara tersebut. Dalam cara tersebut, seruannya untuk "kontrol buruh" dari ukuran produksi tak hanya menuju kontrol langsung wirausaha-wirausaha oleh para pekerja mereka, namun operasi seluruh wirausaha di bawah kontrol "negara buruh". Hal tersebut menghasilkan dua tema yang bertentangan pada pemikiran Lenin: kontrol buruh populer, dan aparatus negara koerktif, hierarkial dan tersentralisas.
Sebelum 1914, Lenin sangat sepakat dengan Marxis Eropa ortodoks arus utama. Namun, Leninisme mengenalkan revisi dan inovasi terhadap Marxisme ortodoks, dan mengadopsi sudut pandang terdoktrinasi dan lebih absolut. Selain itu, Leninisme membedakan dirinya sendiri dari varian-varian Marxisme oleh intensitas emosional terhadap visi liberasionisnya dan fokusnya terhadap peran kepemimpinan proletatiat penggerak revolusioner. Kemudian, Lenin memberikan pernyataan dari arus utara Marxis tentang masalah bagaimana mendirikan sebuah negara proletarian; ia meyakini bahwa aparatus negara yang kuat akan mengeluarkan kaum burjois yang berkonflik dengan pandangan Marxis Eropa seperti Kautsky yang mendorong pemerintahan demokratik parlementer dimana proletariat menjadi mayoritas. Selain itu, menurut sejarawan James Ryan, Lenin adalah "pakar teori Marxis pertama dan paling signifikan yang secara dramatis meningkatkan peran kekerasan sebagai alat revolusioner". Lenin memasukkan peningkatan perubahan ke dalam sistem kepercayaannya, dan realitas pragmatik dari pemerintah Rusia saat menghadapi perang, bencana kelaparan, dan kejatuhan ekonomi yang membuatnya menyimpang dari beberapa gagasan Marxis yang telah ia artikulasikan sebelum Revolusi Oktober.
Gagasan-gagasan Lenin sangat dipengaruhi oleh pemikiran yang telah ada sebelum gerakan revolusioner Rusia, dan oleh varian-varian teoretikal Marxisme Rusia, yang sangat berfokus terhadap bagaimana penulisan Marx dan Engels akan diterapkan kepada Rusia. Selain itu, Lenin juga terpengaruhi oleh pemikiran sosialis Rusia seperti orang-orang dari agrarian-sosialis Narodnik. Meskipun demikian, ia menampik Marxis yang mengadopsi gagasan dari filsuf dan sosiolog non-Marxis kontemporer. Dalam penulisan teoretikalnya, terutama Imperialisme, ia menyatakan bahwa apa yang ia pikirkan adalah perkembangan dalam kapitalisme sejak kematian Marx, dengan berpendapat bahwa telah terjadi tahap baru, kapitalisme monopoli negara. Sebelum meraih kekuasaan pada 1917, ia meyakini bahwa meskipun ekonomi Rusia masih didominasi oleh kaum petani, pada kenyataannya monopoli kapitalisme yang ada di Rusia menandakan bahwa negara tersebut secara material bergerak menuju sosialisme.
Lenin meyakini kebenaran dipegang oleh Marx dan data dan argumen terpilih yang menggelembungkan kebenaran tersebut. Ia tidak mempertanyakan naskah Marxis lama, ia mengomentarinya, dan komentar tersebut menjadi sebuah naskah baru.
Lenin adalah seorang internasionalis dan pendukung revolusi dunia, melampaui batas-batas dunia untuk menjadi sebuah konsep dan nasionalisme dari perjuangan kelas. Ia meyakini bahwa di bawah sosialisme revolusioner, akan ada "penggabungan negara-negara" dan pendirian "Persatuan Negara-negara Dunia". Ia menentang federalisme, menganggapnya burjois, dan sebagai gantinya menyerukan kebutuhan untuk negara uniter tersentralisasi. Lenin merupakan seorang anti-imperialis, dan meyakini bahwa seluruh negara menyajikan "hak penentuan nasib sendiri". Ia juga mendukung perang-perang pembebasan nasional, menyatakan bahwa konflik tersebut merupakan keperluan bagi sebuah kelompok minoritas untuk terpecah dari negara sosialis.
Ia mengekspresikan pandangan bahwa "pemerintahan Soviet adalah beberapa juta kali lebih demokratis ketimbang kebanyakan republik burjois demokratik", yang ia anggap "demokrasi untuk kekayaan". Ia menuntut agar "kediktatoran proletariat"-nya menjadi demokratis melalui pemilihan perwakilan untuk soviet-soviet, dan para buruh memilih para pemimpin mereka sendiri, dengan giat digilir dan melibatkan seluruh buruh dalam pemerintahan negara tersebut. Lenin meyakini bahwa demokrasi perwakilan dari negara-negara kapitalis telah digunakan untuk memberi ilusi demokrasi sesambil mengutamakan kediktatoran burjois; saat menyinggung sistem perwakilan demokratis Amerika Serikat, ia menyebutnya "duel spektakuler dan kurang berarti antara dua partai burjois," yang keduanya dipimpin oleh "multi-jutawan cerdik" yang mengeksploitasi proletariat Amerika. Ia juga menentang liberalisme, mengeluarkan antipati besar terhadap kebebasan sebagai sebuah nilai, dan meyakini bahwa kebebasan liberalisme adalah kecurangan karena bukanlah kebebasan buruh dari eksploitasi kapitalis.



BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Banyak tokoh yang menyumbangkan pemikirannya dalam pemikiran politik barat, salah satunya adalah Lenin. Lenin bernama lengkap Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin, Simbirsk, Rusia, 22 April 1870 dan meninggal 21 Januari 1924 saat berumur 53 tahun. Lenin adalah pemimpin politik pendiri Komunisme di Rusia. Ia penganut Karl Marx yang meletakkan dasar politik Marxisme begitu kuatnya hingga ke seluruh penjuru dunia. Lenin diakui sebagai salah seorang yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia. Tanpa peranan Lenin, Komunis rasanya mesti menunggu bertahun-tahun untuk punya kesempatan memegang kekuasaan dan akan menghadapi perlawanan yang lebih terorganisir.
Lenin sendiri berpendapat bahwa masyarakat komunis adalah masyarakat yang paling ideal di dalam sejarah manusia. Di dalam masyarakat komunis, seluruh kebijakan politis diciptakan dengan berpegang pada satu prinsip, yakni dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, dan kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya. Artinya, setiap orang bekerja sesuai dengan minat dan kemampuannya. Kerja adalah sesuatu yang mengembangkan keseluruhan diri manusia, dan bukan lagi suatu keterpaksaan demi mempertahankan keberadaan. Kerja juga merupakan suatu bentuk pengabdian nyata pada kepentingan publik, dan tidak lalu berorientasi melulu pada kepentingan pribadi. Mekanisme kerja akan dibuat sedemikian membebaskan, sehingga orang dapat mengembangkan suatu budaya tinggi (high culture). Budaya tinggi inilah yang mencegah berbagai kecurangan dan pelanggaran hukum di dalam masyarakat komunis.



DAFTAR PUSTAKA


Budiarjo Miriam. (1986). Dasar-Dasar Ilmu Politik, Komunisme Dan Istilah Demokrasi Dalam Terminologi Komunis. Jakarta: Gramedia.
Fischer, Louis (1964). The Life of Lenin. London: Weidenfeld and Nicolson.
Lee, Stephen J. (2003). Lenin and Revolutionary Russia. London: Routledge.
Lenin, V.I. (1974). The State and Revolution: The Marxist Theory of the State and the Tasks of the Proletariat in the Revolution. Moscow: Progress Publisher.
Lih, Lars T. (2011). Lenin. Critical Lives. London: Reaktion Books.  Durham, North Carolina: Duke University Press. 
Reza A.A Wattimena. (2008). Masyarakat Komunis yang Ideal, Kekuasaan Diktator Proletariat, dan Partai Revolusione di dalam Marxisme-Leninisme. Jurnal Filsafat. (Diakses melalui https://rumahfilsafat.com/2008/07/26/belajar-dari-lenin-dan-marx/, pada Minggu, 16 April 2017 pukul 08.52 WIB)
http://www.biografiku.com/2009/01/biografi-lenin.html (Diakses pada Minggu, 16 April 2017 pukul 09.00 WIB)



[1] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Komunisme Dan Istilah Demokrasi Dalam Terminologi Komunis, (Jakarta: Gramedia, 1986) h. 83-84.

HAKIKAT, INSTRUMENTASI, DAN PRAKSIS DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKAN PANCASILA DAN UUD 1945

HAKIKAT, INSTRUMENTASI, DAN PRAKSIS DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKAN PANCASILA DAN UUD 1945
Oleh : Eben Ezher Pakpahan, Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Riau

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Prof. Mr. Muhamad Yamin mengemukakan bahwa demokrasi merupakan suatu dasar dalam pembentukan pemerintahan dan yang ada didalamnya (masyarakat) dalam kekuasaan mengatur dan memerintah dikendalikan secara sah oleh seluruh anggota masyarakat.
Kita mengenal bermacam-macam istilah demokrasi. Ada yang dinamakan demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, demokrasi rakyat, Demokrasi Soviet, demokrasi nasional, dan sebagainya. Semua konsep ini memakai istilah demokrasi yang menurut asal kata ‘rakyat berkuasa’ atau government by the people (kata Yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa).[1]
Setiap warga negara mendambakan pemerintahan demokratis yang menjamin tegaknya kedaulatan rakyat. Hasrat ini dilandasi pemikiran bahwa adanya peluang bagi tumbuhnya prinsip menghargai keberadaan individu untuk berpartisipasi dalam kehidupan bernegara secara maksimal.
Setiap negara mempunyai ciri khas dalam pelaksanaan  kedaulatan rakyat atau demokrasinya. Hal ini ditentukan oleh sejarah negara yang bersangkutan, kebudayaan, pandangan hidup, serta tujuan yang ingin dicapainya. Dengan demikian pada setiap negara terdapat corak khas yang tercermin pada pola sikap, keyakinan dan perasaan tertentu yang mendasari, mengarahkan, dan memberi arti pada tingkah laku dan proses berdemokrasi dalam suatu sistem politik.[2]
Begitu pula dengan Indonesia, Indonesia memiliki landasan atau acuan tersendiri dalam proses demokrasi nya, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Penjabaran demokrasi dalam ketatanegaraan Indonesia dapat ditemukan dalam konsep demokrasi sebagaimana terdapat dalam UUD 1945 sebagai “staatsyfundamentalnorm” yaitu “...Suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat...” (ayat 2), selanjutnya didalam Romawi III dijelaskan “Kedaulatan Rakyat...” [3]
Pancasila bukan hanya suatu daftar nilai tradisional. Melainkan Pancasila memuat lima unsur             etika pasca-tradisional sedunia yang paling fundamental: kebebasan beragama; hormat tanpa kompromi terhadap hak-hak asasi manusia; kebangsaan yang mempersatukan dalam sinergi pembangunan; semangat kerakyatan yang tak lain adalah demokrasi; serta keadilan sosial. Hal inilah yang menjadi corak khas dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia, yaitu Demokrasi Pancasila.[4]

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana konsep dan urgensi demokrasi yang bersumber dari Pancasila?
2.       Mengapa diperlukan demokrasi yang bersumber dari Pancasila?
3.      Bagaimana sumber historis, sosiologis, dan politik tentang demokrasi?
4.      Bagaimana membangun argumen tentang dinamika dan tantangan demokrasi yang bersumber dari Pacasila?
5.      Bagaimana deskripsi esensi dan urgensi demokrasi Pancasila?
6.      Bagaimana studi kasus mengenai Demokrasi Pancasila di Indonesia?

C.    Tujuan

1.      Pembaca memahami konsep dan urgensi demokrasi yang bersumber dari Pancasila
2.      Pembaca memahami perlunya demokrasi yang bersumber dari Pancasila
3.      Pembaca memahami sumber historis, sosiologis, dan politik tentang demokrasi
4.      Pembaca memahami argumen tentang dinamika dan tantangan demokrasi yang bersumber dari Pacasila
5.      Pembaca memahami deskripsi esensi dan urgensi Demokrasi Pancasila
6.      Pembaca mengetahui bagaimana studi kasus Demokrasi Pancasila di Indonesia


BAB II

PEMBAHASAN


A.    Konsep dan Urgensi Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila

1.      Pengertian Demokrasi
Secara etimologis demokrasi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu “demos” dan ”kratein”. Dalam “The Advanced Learne’s Dictionary of Current English” (Hornby dkk, 1998) dikemukakan bahwa kata demokrasi merujuk pada konsep kehidupan negara atau masyarakat dimana warga negara dewasa turut berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang dipilih.
Karena “people” yang menjadi pusatnya, demokrasi oleh Pabottinggi (2002) disikapi sebagai pemerintahan yang memiliki otosentrisitas yakni rakyatlah (people) yang harus menjadi kriteria dasar demokrasi.
Sementara itu CICED (1999) mengadopsi konsep demokrasi sebagai berikut :
“Democracy which is conceptually perceived a frame of thought of having the public governance from the people, by the people, has been universally accepted as paramount ideal, norm, social system, as well as individual knowledge, attitudes, and behavior needed to be contextually substantiated, cherished, and developed”.
Apa yang dikemukakan oleh CICED (1999) tersebut melihat demokrasi sebagai konsep yang bersifat multidimensional, yakni secara filosofis demokrasi sebagai ide, norma, dan prinsip; secara sosiologis sebagai system social; dan secara psikologis sebagai wawasan, sikap, dan perilaku individu dalam hidup bermasyarakat.
Sebagai suatu sistem sosial kenegaraan, USIS (1995) mengintisarikan demokrasi sebagai sistem memliki sebelas pilar atau soko guru, yakni “Kedaulatan Rakyat, Pemerintahan Berdasarkan Persetujuan dari yang Diperintah, Kekuasaan Mayoritas, Hak-hak Minoritas, Jaminan Hak-hak Asasi Manusia, Pemilihan yang Bebas dan Jujur, Persamaan di depan Hukum, Proses Hukum yang Wajar, Pembatasan Pemerintahan secara Konstitusional, Pluralisme Sosial, Ekonomi dan Politik, dan Nilai-nilai Toleransi, Pragmatisme, Kerja Sama dan Mufakat.”
Di lain pihak Sanusi (2006) mengidentifikasikan adanya seupuluh pilar demokrasi konstitusional menurut UUD 1945, yakin: “Demokrasi yang Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, Demokrasi dengan Kecerdasan, Demokrasi yang Berkedaulatan Rakyat, Demokrasi dengan “Rule of Law”, Demokrasi dengan Pembagian Kekuasaan Negara, Demokrasi dengan Hak Asasi Manusia, Demokrasi dengan Pengadilan yang Merdeka, Demokrasi dengan Otonomi Daerah, Demokrasi dengan Kemakmuran, dan Demokrasi yang Berkeadilan Sosial.”
2.      Tiga Tradisi Pemikiran Politik Demokrasi
Secara konseptual, seperti yang dikemukakan oleh Carlos Alberto Torres (1998) demokrasi dapat dilihat dari tiga tradisi pemikiran politik, yakni “classical Aristotelian theory, medieval theory, contemporary doctrine”. Dalam tradisi pemikirian Aristotelian demokrasi merupakan salah satu bentuk pemerintahan, yakni pemerintahan oleh seluruh warga negaranya yang memenuhi syarat kewarganegaraan. Sementara itu dalam tradisi “medieval theory” yang pada dasarnya menerapkan “Roman law” dan konsep “popular souvereignity” menempatkan suatu landasan pelaksanaan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Sedangkan dalam “contemporary doctrine of democracy”, konsep “republican” dipandang sebagai bentuk pemerintahan rakyat yang murni.
Lebih lanjut, Torres (1998) memandang demokrasi dapat ditinjau dari dua aspek yakni, “formal democracy” dan “substantive democracy”. Formal democracy menunjuk pada demokrasi dalam arti pemerintahan. Substantive democracy menunjuk pada bagaimana proses demokrasi itu dilakukan. Proses itu dapat diindentifikasi dalam empat bentuk demokrasi. Pertama, konsep “protective democracy” yang menunjuk pada perumusan Jeremy Bentham dan James Mill ditandai oleh “… the hegemony of market economy”, atau kekuasaan ekonomi pasar. Kedua, “developmental democracy” yang ditandai oleh konsepsi “… the model of man as possessive individualist” atau model manusia sebagai individu yang posesif. Ketiga, “equilibrium democracy” atau “pluralist democracy” yang dikembangkan oleh Joseph Schumpeter yang berpandangan perlunya penyeimbangan nilai partisipasi dan pentingnya apatisme. Keempat, “participatory democracy” yang diteorikan oleh C.B Machperson yang dibangun dari pemikiran paradoks dari JJ. Rousseau yang menyatakan bahwa kita tidak dapat mencapai partisipasi yang demokratis tanpa perubahan lebih dulu dalam ketakseimbangan sosial dan kesadaran sosial. Seperti dikutip dari pandangan Mansbridge dalam “Participation and Democratic Theory” (Torres,1998) dikatakan bahwa fungsi utama dati partisipasi dalam pandangan teori demokrasi partisipatif adalah bersifat edukatif dalam arti yang sangat luas. Hal itu dinilai sngat penting karena seperti diyakini oleh Pateman dalam Torres (1998) bahwa pengalaman dalam partisipasi demokrasi akan  mampu mengembangkan dan memantapkan kepribadian yang demokratis. Oleh karena itu, peranan Negara demokratis harus dilihat dari dua sisi (Torres, 1998;149) yakni demokrasi sebagai “method and content”.
3.      Pemikiran Tentang Demokrasi Indonesia
Miriam Budiardjo menyebutkan di dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik (2008), bahwa demokrasi yang dianut Indonesia adalah yang berdasarkan Pancasila yang masih terus berkembang dan sifat dan ciri-cirinya terdapat berbagai tafsiran dan pandangan.
Menurut Hatta ada tiga sumber pokok demokrasi yang mengakar di Indonesia. Pertama, sosialisme Barat yang membela prinsip-prinsip kemanusiaan yang sekaligus dipandang sebagai tujuan demokrasi. Kedua, ajaran Islam memerintahkan kebenaran dan keadilan Tuhan dalam masyarakat. Ketiga, pola hidup dalam bentuk kolektivisme sebagaimana terdapat di desa-desa wilayah Indonesia.[5]
4.      Pentingnya Demokrasi sebagai Sistem Politik Kenegaraan Modern
Demokrasi di mata pemikir Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles bukanlah bentuk pemerintahan yang ideal. Demokrasi kuno itu selanjutnya tenggelam oleh kemunculan pemerintahan model Kekaisaran Romawi dan tumbuhnya negara-negara kerajaan di Eropa sampai abad ke-17.
Namun demikian pada akhir abad ke-17 lahirlah demokrasi “modern” yang disemai oleh para pemikir Barat seperti Thomas Hobbes, Montesquieu, dan JJ. Rousseau, bersamaan dengan munculnya konsep Negara-bangsa di Eropa.
Perkembangan demokrasi semakin pesat dan diterima semua bangsa terlebih sesudah Perang Dunia II. Dengan demikiran, sampai saat ini demokrasi diyakini dan diterima sebagai sistem politik yang baik guna mencapai kesejahteraan bangsa. Hampir semua negara modern menginginkan dirinya dicap sebagai negara demokrasi. Sebaliknya akan menghindar dari julukan sebagai Negara yang “undemocracy”.

B.     Alasan Diperlukan Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila

Hingga saat ini kita masih menyaksikan sejumlah persoalan tentang kelemahan praktik demokrasi di Negara kita. Beberapa masalah tersebut yang sempat muncul diberbagai media jejaring sosial adalah:
1.      Buruknya kinerja lembaga perwakilan dan partai politik
2.      Krisis partisipasi politik rakyat
3.      Munculnya penguasa di dalam demokrasi
4.      Demokrasi saat ini membuang kedaulatan rakyat.
Terjadinya krisis partisipasi rakyat disebabkan karena tidak adanya peluang untuk berpartisipasi atau karena terbatasnya kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Secara lebih spesifik penyebab rendahnya partisipasi politik itu adalah:
a.       Pendidikan yang rendah sehingga menyebabkan rakyat kurang aktif dalam melaksanakan partisipasi politik
b.      Tingkat ekonomi rakyat yang rendah
c.       Partisipasi politik rakyat kurang mendapat tempat oleh pemerintah.
Munculnya penguasa didalam demokrasi ditandai oleh menjamurnya “dinasti politik” yang menguasai segala segi kehidupan masyarakat: pemerintahan, lembaga perwakilan, bisnis, peradilan, dan sebagainya oleh satu keluarga atau kroni. Adapun perihal demokrasi membuang kedaulatam rakyat terjadi akibat adanya kenyataan yang memperihatinkan bahwa setelah tumbangnya struktur kekuasaan “otokrasi” ternyata bukan demokrasi yang kita peroleh melainkan oligarki dimana kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil elit, sementara sebagian rakyat (demos) tetap jauh dari sumber-sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum, informasi, pendidikan, dan sebagainya).
Atas dasar kenyataan demikian tentu muncul sejumlah pertanyaan dibenak kita. Misalnya :
1.      Mengapa kekuasaan politik formal dikuasai oleh sekelompok orang partai yang melalui pemilu berhak “menguras” suara rakyat untuk memperoleh kursi di parlemen?
2.      Mengapa dapat terjadi suatu kondisi dimana melalui parlemen kelompok elit dapat mengatas namakan suara rakyat untuk melaksanakan agenda politik mereka sendiri yang sering kali berbeda dengan kepentingan nyata masyarakat?
3.      Mengapa pihak-pihak yang memiliki kekuasaan kharismatik yang berakar dari tradisi, maupun agama yang terdapat pada beberapa orang yang mampu menggerakkan loyalitas dan emosi rakyat yang bila perlu menjadi tumbal untuk tujuan yang bagi mereka sendiri tidak jelas masih hidup pada era demokrasi dewasa ini?
4.      Mengapa sekelompok elit daerah dapat memiliki wewenang formal maupun informal yang digunakan untuk mengatasnamakan aspirasi daerah demi kepentingan mereka sendiri.

C.    Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik Tentang Demokrasi

1.      Sumber Nilai yang Berasal dari Demokrasi Desa
Mengenai adanya anasir demokrasi dalam tradisi desa kita akan meminjam dua macam analisis berikut:
1.1.Paham kedaulatan rakyat sebenarnya sudah tumbuh sejak lama di Nusantara. Di alam Minangkabau misalnya, Raja sejati di dalam kultur Minangkabau ada pada alur (logika) dan patut (keadilan). Alur dan patutlah yang menjadi pemutus terakhir sehingga keputusan seorang Raja akan ditolak apabila bertentangan dengan akal sehat dan prinsip-prinsip keadilan (Malaka,2005).
1.2.Tradisi demokrasi asli Nusantara tetap bertahan sekalipun dibawah kekuaaan feodalisme raja-raja Nusantara karena di banyak tempat di Nusantara, tanah sebagai faktor produksi yang penting tidaklah dikuasai oleh raja melainkan dimiliki bersama oleh masyarakat desa.
2.      Sumber Nilai yang Berasal dari Islam
Inti dari keyakinan Islam adalah pengakuan pada Ketuhanan Yang maha Esa. Konsekuensinya, semua bentuk pengaturan hidup dengan menciptakan kekuasaan mutlak pada semasa manusia merupakan hal yang tidak adil dan tidak beradap. Kelanjutan logis dari prinsip Tauhid adalah paham persamaan manusia di hadapan Tuhan, yang melarang adanya perendahan martabat dan pemaksaan kehendak antar  sesama manusia. Bahkan seorang utusan Tuhan tidak berhak melakukan pemaksaan itu. Dalam perkembangannya, Hatta juga memandang stimulasi Islam sebagai salah satu sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi sosial di kalbu para pemimpin pergerakan kabangsaan.
3.      Sumber Nilai yang Berasal dari Barat
Pusat pertumbuhan demokrasi terpenting di Yunani adalah kota Athena, yang sering dirujuk sebagai contoh pelaksanaan Demokrasi Partisipatif dalam negara-negara abad ke-5 SM. Selanjutnya muncul pula praktik pemerintahan sejenis Romawi, tepatnya di kota Roma (Italia).  Yakni sistem pemerintahan Republik. Model pemerintahan demokratis model Athena dan Roma ini kemudian menyebar ke kota lain di sekitarnya, seperti Florence dan Veniece.
Kehadiran Kolonialisme Eropa, khususnya Belanda, di Indonesia membawa dua sisi dari koin peradaban Barat: Sisi Represi imprealisme-kapitalisme dan sisi humanisme-demokrasi.
Sumber inspirasi dari anasir demokrasi desa, ajaran Islam, sosiologi demokrasi barat, memberikan landasan persatuan dan keragaman. Segala keragaman ideologi-politik yang dikembangkan, yang bercorak keagamaan maupun sekuler. Semuanya memiliki titik temu dalam gagasan-gagasan demokrasi sosialitik (kekeluargan) dan secara umum menolak individualisme.

D.    Argumen Tentang Dinamika dan Tantangan Demokrasi yang Bersumber dari Pacasila

Kita dapat melihat postur demokrasi secara normatif pada konstitusi negara kita. Indonesia mengalami perubahan konstitusi dimulai sejak berlakunya UUD 1945(I), Konstitusi RIS 1949, UUDS1950, Kembali ke UUD 1945(II) dan akhirnya kita telah berhasil mengamandemen UUD 1945 sebanyak empat kali. Untuk melihat demokrasi pada saat sekarang ini kita dapat melihat dari fungsi dan peran lembaga permusyawaratan dan perwakilan rakyat menurut UUD NRI Tahun 1945, MPR, DPR dan DPD.
Untuk memahami dinamika dan tantangan demokrasi di Indonesia, kita dapat membandingkan aturan dasar dalam naskah asli UUD 1945 dan bagaimana perubahannya berkaitan dengan MPR, DPR, dan DPD (Asshiddiqie dkk, 2008).
1.      Majelis Permusyawaratan Rakyat
·         Sebelum UUD 1945 diamandemen MPR merupakan lembaga tertinggi negara.
·         Setelah UUD 1945 diamandemen MPR bukan lagi merupakan lembaga tertinggi negara, tetapi sama halnya dengan lembaga negara lainnya.
·         Kedudukan MPR berubah dari sistem vertikal hierarkis dengn prinsip supremasi MPR menjadi sistem yang horizontal fundamental dengan prinsip checks and balances (saling mengawasi dan mengimbangi) antar lembaga negara.
·         Setelah UUD 1945 diamandemen MPR tidak lagi berwenang menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
·         Kewenangan baru MPR ialah melantik Presiden dan Wakil presiden (Pasal 3 ayat 2 UUD 1945). Serta memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya (Pasal 3 ayat 3 UUD 1945).
·         MPR bisa mengisi lowongan jabatan presiden dan wakil presiden secara bersama-sama atau bilamana wakil presiden berhalangan tetap Pasal 8 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945.
2.      Dewan Perwakilan Rakyat
·         Setelah UUD 1945 diamandemen yang berubah ialah anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum
·         DPR memegang kekuasaan untuk membentuk Undang-undang
·         Dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, Presiden turut andil dalam mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disepakati bersama Pasal 20 ayat 4.
·         Kemudian perubahan UUD 1945 setelah amandemen ialah apabila rancangan undang-undang yang telah disepakati bersama tidak mendapat persetujuan dari presiden selama dalam waktu 30 hari setelah perancangan maka rancangan undang-unang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Pasal 20 ayat 5
·         Berdasarkan pasal 20 A ayat 1 funsi DPR itu ada tiga yaitu fumgsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.
·         Berdasarkan Pasal 20 A ayat 2 DPR mempunyai hak yaitu, hak interplasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
3.      Dewan Perwakilan Daerah
·         Anggota DPD dipilih melalui pemilihan umum disetiap provinsi
·         DPD dapat mengajukan rancangan Undang-Undang kepada DPR yang menyangkut tentang otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan SDE lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
·         DPD ikut mebahas rancangan Undang-Undang yang berkitan dengan daerah. Serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang.
·         DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang.
Demikianlah dinamika yang terjadi dengan lembaga permusyawaratan dan perwakilan di negara kita yang secara langsung mempengaruhi kehidupan demokrasi. Dinamika ini tentu saja kita harapkan dapat membuat semakin sehat dan dinamisnya Demokrasi Pancasila yang tengah melakukan konsolidasi menuju demokrasi yang matang.

E.     Deskripsi Esensi dan Urgensi Demokrasi Pancasila

1.      Kehidupan Demokratis yang Bagaimana yang kita Kembangkan?
Sebagai demokrasi yang berakar pada budaya bangsa, kehidupan demokratis yang kita kembangkan harus mengacu pada landasan idiil Pancasila dan landasan konstitusional UUD 1945. Berikut ini di ketengahkan “Sepuluh Pilar Demokrasi Pancasila” yang dipesankan oleh para pembentuk negara RI, sebagaimana diletakkan dalam UUD 1945 (Sanusi 1998).
No.
Pilar Demokrasi Pancasila
Maksud Esensinya
1.
Demokrasi Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Seluk-beluk sistem serta perilaku dalam menyelenggarakan kenegaraan RI harus taat asas, konsisten, atau sesuai dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah dasar Ketuhanan Yang Maha Esa
2.
Demokrasi dengan Kecerdasan
Mengatur dan menyelenggarakan demokrasi menurut UUD 1945 itu bukan dengan kekuatan naluri, kekuatan otot atau kekuatan massa semata-mata. Pelaksanaan demokrasi itu justru lebih menuntut kecerdasan rohaniah, kecerdasaan aqliyah, kecerdasan rasional dan kecerdasan emosional
3.
Demokrasi yang Berkedaulatan Rakyat
Kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Secara prinsip, rakyatlah yang memiliki/memegang kedaulatan itu. Dalam batas-batas tertentu kedaulatan rakyat itu dipercayakan kepada wakil-wakil rakyat di MPR(DPR/DPD) dan DPRD
4.
Demokrasi dengan Rule of Law
·         Kekuasaan negara RI itu harus mengandung, melindungi serta mengembangkan kebenaran hukum (legal truth) bukan demokrasi ugal-ugalan, demokrasi dagelan atau demokrasi manipulatif
·         Kekuasaan negara itu memberikan keadilan hukum (legal justice) bukan demokrasi yang terbatas pada keadilan formal dan pura-pura
·         Kekuasaan negara itu menjamin kepastian hukum (legal security) bukan demokrasi yang membiarkan kesemrawutan dan anarki
·         Kekuasaan negara itu mengembangkan manfaat atau kepentingan hukum (legal interest), seperti kedamaian dan pembangunan, bukan demokrasi yang justru memopulerkan fitnah dan hujatan atau menciptakan perpecahan, permusuhan dan kerusakan
5.
Demokrasi dengan Pembagian Kekuasaan
Demokrasi menurut UUD 1945 bukan saja mengakui kekuasaan RI yang tidak terbatas secara hukum, melainkan juga demokrasi itu dikuatkan dengan pembagian kekuasaan negara dan diserahkan kepada badan-badan negara yang bertanggung jawab. Jadi demokrasi menurut UUD 1945 mengenal semacam division and separatation of power, dengan sistem check and balance
6.
Demokrasi dengan Hak Asasi Manusia
Demokrasi menurut UUD 1945 mengakui hak asasi manusia yang tujuannya bukan saja menghormati hak-hak asasi tersebut, melainkan terlebih-lebih untuk meningkatkan martabat dan derajat manusia seutuhnya
7.
Demokrasi dengan Pengadilan yang Merdeka
Demokrasi menurut UUD 1945 menghendaki diberlakukannya sistem peradilan yang merdeka (independen) yang memberi peluang seluas-luasnya kepada semua pihak yang berkepentingan untuk mencari dan menemukan hukum yang seadil-adilnya . Di muka pengadilan yang merdeka, penggugat dengan pengacaranya, penuntuk umum dan terdakwa dengan pengacaranya mempunyai hak yang sama untuk mengajukan konsideransi, dalil-dalil,fakta-fakta, saksi, alat, pembuktian dan petitumnya
8.
Demokrasi dengan Otonomi Daerah
Otonomi daerah merupakan pembatasan terhadap kekuasaan negara, khususnya kekuasaan legislatif dan eksekutif di tingkat pusat, dan lebih khusus lagi pembatasan atas kekuasaan presiden. UUD 1945 secara jelas memerintahkan dibentuknya daerah-daerah otonom besar dan kecil, yang ditafsirkan daerah otonom I dan II. Dengan Peraturan Pemerintah daerah-daerah otonom itu dibangun dan disiapkan untuk siap mengatur dan menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya sendiri yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepadanya.
9.
Demokrasi dengan Kemakmuran
Demokrasi itu bukan hanya soal kebebasan dan hak, bukan hanya soal kewajiban dan tanggung jawab, bukan pula hanya soal mengorganisir kedaulatan rakyat atau pembagian kekuasaan kenegaraan. Demokrasi itu bukan pula hanya soal otonomi daerah dan keadilan hukum. Sebab bersamaan itu semua, jika dipertanyakan “where is the beef?”, demokrasi menurut UUD 1945 itu ternyata ditujukan untuk membangun negara kemakmuran oleh dan untuk sebesar-besarnya rakyat Indonesia
10.
Demokrasi yang Berkeadilan
Sosial, Demokrasi menurut UUD 1945 menggariskan keadilan sosial di antara berbagai kelompok, golongan dan lapisan masyarakat. Tidak ada golongan, lapisan, kelompok, satuan atau organisasi yang menjadi anak emas, yang diberi berbagai keistimewaan atau hak-hak khusus
2.      Mengapa Kehidupan yang Demokrasi Itu Penting?
2.1.Partisipasi dalam Pembuatan Keputusan
Dalam negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan pemerintahan dijalankan berdasarkan kehendak rakyat. Sebagai contoh ketika masyrakat kota tertentu resah dengan semakin tercemarnya udara oleh asap rokok yang berasal dari para perokok, maka pemerintah kota mengeluarkan peraturan daerah tentang larangan merokok di tempat umum.
2.2.Persamaan Kedudukan di Depan Hukum
Seiring dengan adanya tuntutan agar pemerintah harus berjalan dengan baik dan dapat mengayomi rakyat dibutuhkan adanya hukum. Hukum itu mengatur bagaimana seharusnya penguasa bertindak, bagaimana hak dan kewajiban dari penguasa dan juga rakyatnya. Artinya, hukum harus dijalankan dengan adil dan tidak pandang bulu. Untuk menciptakan hal itu harus ditunjang dengan adanya aparat penegak hukum yang tegas dan bijaksana.
2.3.Distribusi Pendapatan Secara Adil
Dalam negara demokrasi, semua bidang dijalankan dengan berdasarkan prinsip keadilan bersama dan tidak berat sebelah, termasuk di dalam bidang ekonomi. Semua warga negara berhak memperoleh pendapatan yang layak.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kehidupan demokratis penting dikembangkan dalam berbagai kehidupan, karena seandainya kehidupan demokratis tidak terlaksana, maka asas kedaulatan rakyat tidak berjalan, tidak ada jaminan HAM, tidak ada persamaan di depan hukum.
3.      Bagaimana Penerapan Demokrasi dalam Pemilihan Pemimpin Politik dan Pejabat Negara?
Pemilihan pemimpin merupakan wujud partisipasi politik. Partisipasi politik adalah kegiatan kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.[6]
Seorang pemimpin memang harus yang memiliki kemampuan memadai sehingga ia mampu melindungi dan mengayomi rakyatnya dengan baik. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Berdasarkan sistem demokrasi yang kita anut, seorang pemimpin itu harus beriman dan bertaqwa, bermoral, berilmu, terampil, dan demokratis

F.     Studi Kasus

Studi kasus mengenai Demokrasi Pancasila di Indonesia dapat kita lihat dari kasus “Terkekangnya Media Pers Saat Era Orde Baru”. Ketika Orde Lama runtuh dan kemudian memasuki Era Orde Baru para media pers mendapat tekanan yang begitu keras dari pemerintah dan mulai terkekang pergerakannya. Pers dilarang untuk memberitakan berita miring seputar pemerintahan. Jika ada yang berani memberikan kiritikan kepada pemerintahan saat itu dan kemudian mempublikasikannya maka akan ada ancaman keras yang akan diperoleh oleh penerbit.
Selain itu, pemerintah didukung dengan adanya siaran televisi yang dikuasainya, yaitu TVRI, dan ditambah lagi pemerintah dengan berbagai peraturannya memberendel berbagai media cetak yang tidak sejalan dengan pemerintahan.  Bentuk lain dari pengekangan pers saat itu ialah munculnya SIUPP (Surat Izin Untuk Penerbitan Pers). Demikianlah ketatnya masa orde baru terhadap pers, sehingga peranan Pers sebagai transmisi informasi dan katalisator bagi perubahan politik sosial tidak dapat berjalan baik. Hal ini tentunya sangat tidak sesuai dengan Demokrasi Pancasila yang mengusung kebebasan berpendapat.

Bagan 1. Sumber : http://www.kompasiana.com/hildasaadatinis/terkekangnya-media-pers-saat-era-orde-baru_55283e5d6ea834031d8b4590

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang berdasar Pancasila dan UUD 1945. Demokrasi Pancsila dalam arti luas adalah kedaulatan atau kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat yang dalam penyelenggaraannya dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila dan dijalankan sesuai rumusan nilai dan norma dalam UUD 1945. Praktik yang berjalan juga harus sesuai dengan dinamika perkembangan kehidupan kenegaraan Indonesia. Sekalipun telah terumus dengan baik, namun dalam kenyataannya praktik Demokrasi Pancasila mengalami pasang surut. Oleh karena itu, perjuangan untuk menuju Indonesia menjadi lebih baik turut menjadi tanggung jawab bersama melalui peran kita dalam mempertahankan Demokrasi Pancasila sebagai ciri khas yang dimiliki Indonesia.

B.     Saran

1.      Otoritas tertinggi dalam sebuah negara yaitu pemerintah, hendaknya mengetahui dan memahami dengan jelas hakikat dan makna dari Pancasila itu sendiri serta berupaya mewujudkannya dalam mengayomi dan menyejahterakan rakyatnya
2.      Masyarakat juga hendaknya memahami betul makna Demokrasi Pancasila sehingga dapat menjadi pedoman dan kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga mampu untuk bisa lebih pro-aktif demi Indonesia yang lebih baik kedepan
3.      Mahasiswa sebagai akademisi hendaknya mampu menciptakan dan mengawal proses berbangsa dan bernegara berdasarkan cita-cita dari Pancasila itu sendiri, sehingga tercipta bangsa yang beradab dan memiliki potensi masa depan yang cerah dan tidak mudah terprovokasi untuk merusak tatanan pancasila itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA


Buku

Budiarjo Miriam. (1981). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta:Gramedia.

Kaelan dan Achmad Zubaidi. (2007). Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: PARADIGMA.
Maarif Ahmad Syafii. (1996). Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Jakarta: Gema Insani Press.
Priyono AE dan Usman Hamid. (2014). Merancang Arah Baru Demokrasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
RISTEKDIKTI. (2016). Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta:Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi.
Halaman Web
http://www.kompasiana.com/hildasaadatinis/terkekangnya-media-pers-saat-era-orde-baru_55283e5d6ea834031d8b4590


[1] Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik,( Jakarta: Gramedia, 1981) h. 105
[2] RISTEKDIKTI, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi) h. 145
[3] Prof. Dr. H. Kaelan, M.S dan Drs. H. Achmad Zubaidi, M.Si, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: PARADIGMA, 2007) hlm. 70
[4] AE Priyono dan Usman Hamid, Merancang Arah Baru Demokrasi, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014) h.143
[5] Dr. Maarif Ahmad Syafii, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h. 197
[6] Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik,( Jakarta: Gramedia, 1981) h. 367

UP Alert (http://ebenzezher-ebenzezher.blogspot.com)

Hola, Su sitio web: http://ebenzezher-ebenzezher.blogspot.com (HTTP(s)) se encuentra Online nuevamente (Estuvo Offline 2y ...